Tempat itu berupa tanah lapang yang dipagari tanaman singkong. Sekitarnya terlihat beberapa pohon nangka besar. Lampu pertomak dicantolkan pada dahan pohon, sehingga suasana tampak terang benderang. Pada satu sudut lahan terlihat banyak kurungan ayam yang terbuat dari bambu.

Semua yang hadir terlihat begitu antusias. Mereka duduk mengelilingi lahan berumput, sambil saling berbincang. Beragam usia ada. Dari pemuda belasan tahun, sampai kakek-kakek yang sudah lupa umur.

Rokok pada tangan mereka tampak membara. Asapnya menyebar menyesakkan dada. Sebagian orang yang duduk di pojok, begitu asyik menenggak minuman dari dalam botol kaca. Bau tembakau serta bau menyengat alkohol berpadu memenuhi udara. Kepala Mamat jadi pening menghidu semua aroma itu.

"Cepatlah, Mat! Kau jagokan ayam yang mana?" desak Ipan tak sabar, melihat Mamat sedari tadi hanya bengong.

"Humh ...." Mamat menggumam. Saat ini dia tidak bisa fokus berpikir. Perutnya melilit merasakan lapar.

Krucuk ....

Perut Mamat berbunyi, minta diisi.

"Ulun lapar, Kak, dari siang belum makan," keluh Mamat, meringis.

"Hungang! Kau pikir aku tak lapar, hah?" Sekali lagi kepala Mamat ditoyor.

"Kalau tak ada duit, aku tak bakal bisa mengantar kau ke tempat abahmu."

"Duit celengan ulun tadi ada," protes Mamat takut-takut.

Plakk!

Kepala belakang Mamat dikemplang. Mulut mungilnya pun mengaduh pelan.

"Kau pikir duit seculit itu cukup buat ongkos jalan, hah?!" sental Ipan, melotot-lotot.

Dalam hati Ipan mengakui, sebenarnya uang bekal dari mamaknya tadi siang lebih dari cukup. Entah ilmu pengasih apa yang dimiliki oleh Mamat, sampai Acil Iyul ringan hati memberikan ongkos jalan untuk perjalanannya. Ditambah menugasi Ipan menjadi pengawal.

"Ingat pesan Mamak, Pan! Kau antar Mamat sampai bertemu abahnya! Setelah itu bawa dia kembali dengan selamat! Biar Mamak yang kasih tahu sama niniknya kalau kau yang mengantar. Mamak titip Mamat padamu, Pan. Dia tanggung jawabmu sampai pulang ke niniknya." Terngiang lagi kalimat panjang lebar dari mamak siang tadi.

Sebenarnya Ipan malas kalau harus menjagai anak kecil macam Mamat. Tapi, melihat sejumlah uang jalan yang disodorkan mamak, dia seketika berubah pikiran.

"Nih, ongkos buat kalian pulang pergi."

Senyum Ipan mengembang melihat lembaran-lembaran uang merah yang masih kaku di tangan mamak. Tangan Ipan bergerak ingin meraup, tetapi Acil Iyul gesit menariknya lagi.

"Kau harus janji dulu, Pan!" Acil Iyul menatapnya tajam.

"Apalagi, Mak?" tanya Ipan gusar.

"Jangan berani pulang, kalau tak bawa Mamat dengan selamat!"

"Iya, Ipan janji," sahut Ipan asal. Dalam hati bodo amat.

"Kalau kau tak bisa pegang janji, Mang Halil yang Mamak suruh menghukummu." Acil Iyul menyebut nama saudara lelakinya yang paling ditakuti oleh Ipan. Seorang jagoan kampung.

"Iya, iya. Ipan janji, dah."

Kenyataannya bukan langsung berangkat. Ipan malah tergoda menjajal keberuntungannya berjudi sambung ayam di desa sebelah. Mengkhayal akan dapat untung yang banyak. Ternyata perkiraannya jauh meleset.

.
.

"Menaaang ... hahaha ...! Akhirnya menang juga unda ... hahaha ...!" teriakan serta tawa lepas Ipan pecah di tengah keramaian. Kedua tangannya yang terkepal mengacung ke udara.

Ayam jago pilihan Mamat menang. Anak itu ternyata membawa keberuntungan untuk Ipan. Tak salah perkiraan kali ini. Pemuda itu jingkrak-jingkrak kegirangan, saking senangnya.

"Hebat kau, Mat. Pintar kau pilih jagoan. Coba dari awal kau yang pilih, bisa menang besar kita," pujinya, sembari kedua tangan mengguncang keras bahu kecil Mamat.

"Kau mau makan apa habis ini, Mat? Nasi sop, gado-gado, sate ayam? Pokoknya kau boleh makan apa pun sampai kenyang." tawar Ipan bersemangat.

"Ma- makan, hhh ... makan ...." Mamat sulit bicara, Ipan masih mengguncang bahunya.

Makan apapun tak masalah bagi Mamat, yang penting perut bisa terisi nasi, bukan penuh angin seperti sekarang. Malam telah larut, Mamat lelah, matanya sudah terasa sepat.

"Bubaaar! Bubar semuanyaaa!"

"Awas, ada Rajia pulisi!"

"Pulisi ... ada pulisiii ....!"

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan panik membahana, dari luar kebun singkong.

To be continued....

Catatan kaki :

* Ulun => bahasa halus dari saya/ aku. Digunakan oleh yang berusia lebih muda.

* Unda-nyawa => gue-elu

* Sangu => bekal

* Bungul, hungang => bodoh, tolol

SUSURDär berättelser lever. Upptäck nu