24

332 49 17
                                    

"Membeku hingga perlahan-lahan hancur menjadi abu, hampa dan tidah berarti"

_Raka Derana Kanagara_






Happy Reading

***




Mereka duduk bersama dibawah terangnya pijar lampu, kali pertama mereka berinteraksi dengan skinship selayaknya saudara tanpa aura benci oleh salah satunya.

Melihat kilas balik kehidupan yang lalu jangankan berdekatan melirik saja tidak sudi.

Pernah tertawa bersama dalam waktu yang singkat di masa kanak-kanak, sebelum pada akhirnya salah satu di titah pergi dengan luka abadi.

Adik perempuan, hah rasanya ia masih tak percaya drama keluarga yang terjadi dulu.

"Maaf kak, Shasa tadi gak bisa bantu kakak. Shasa takut ayah semakin marah kalau Shasa ikut campur" sesal gadis itu.

Bukan tak ingin menolong hanya saja ia tak seberani itu untuk berhadapan langsung dengan nada mematikan ayahnya.

Tidak bisa dipungkiri ia takut akan ketajaman kata yang pasti akan sangat menyakitkan jika terucap, dan ayahnya selalu menyuarakan itu.

"Gak pa pa" sahut Raka singkat.

Shasa terdiam sejenak melihat luka di pipi kakaknya yang memanjang, ayahnya terlalu berbakat untuk menoreh luka.

Pria itu tidak pernah ingin berubah, walaupun penyesalan pernah menghancurkan dirinya.

"Sakit?" tanya gadis itu sedikit menekan luka kakaknya.

Raka hanya menggeleng sebagai jawaban, sebenarnya ia bingung untuk mengatakan apa.

Sakit yang seperti apa adiknya itu maksud, sakit karena luka fisik yang diobati atau luka hati yang dianggap hal biasa.

Ketika patahnya hati sudah menghancurkan jiwa, lantas goresan pada tubuh mana yang masih terasa.

Memang luka itu terasa pedih tetapi hati meredam dengan lara lebih dalam.

"Kak Raka tau, di dunia ini kita butuh orang lain. gak semua hal bisa dilakuin sendiri" cetus Shasa tiba-tiba.

Raka menaikkan sebelah alisnya tidak paham.

"Terlalu banyak luka itu gak baik, apalagi kakak gak pernah mau berbicara dengan apa yang di rasain. Jangan sampai kakak melukai diri sendiri" ucap Shasa masih dengan aktivitas mengobati pipi kakaknya.

Raka terkekeh garing dalam hati, bukankah ia beberapa kali menyampaikan isi hati dan tidak ada yang menanggapi.

Hanya bisa menorehkan luka bukan untuk mengobatinya.

Sekuat apapun, sesering apapun ia berkata menyampaikan beban teramat perih di hati tidak akan ada yang mendengar, tidak akan ada yang peduli.

Ia akan semakin dilukai hingga darah segar berhenti mengalir, denyutan nadi telah terganti dan raga itu hanya sebuah boneka kosong tanpa napas.

"Sekuat apapun ayah mukul kakak, sepedas apapun ucapan bunda, gak bisa dipungkiri kalau rasa sayang mereka juga besar sama kakak"

Raka diam, bukan karena ia tak memiliki kata untuk disampaikan hanya saja ia ingin mendengar dari sudut pandang yang berbeda.

"Sewaktu kak Raka koma, bunda selalu nungguin perkembangan kondisi kakak di rumah sakit, ayah mencoba berbagai cara mencari dokter terbaik supaya kesehatan kakak cepat membaik"

I'm Still Hurt Where stories live. Discover now