#51 Berawal dari Akhir

Start from the beginning
                                    

"Jawab gue, Van. Please, jawab ..." Laki-laki itu mendekat, berdiri tepat di hadapannya.

"Kita ..." Jeda sejenak sebelum Vanta melanjutkan, "enggak usah ketemu lagi. Lo nggak usah antar-jemput gue lagi."

"Setelah apa yang kita lewatin, lo mau bilang kalo semua itu cuma bohongan? Alasan lo bener-bener cuma mau bales gue?"

Susah payah Vanta menelan ludahnya dan menghindari tatapan lelaki itu. Tetapi Alvin mencengkeram kedua bahunya keras hingga ia meringis.

"Itu cuma celotehan ngaco karena mabuk 'kan?" desaknya. "BILANG IYA, VAN!" Hingga bentakan frustrasi keluar dari mulut cowok itu. "JAWAB GUE!"

Tak tahan berada di tengah ketegangan atmosfir yang melingkupi mereka, Vanta memejamkan mata erat-erat, hatinya terasa dipelintir. Sekuat tenaga dia menekan rasa sakit yang menjalar ke seluruh persendiannya.

Dia lalu membuka mata, berusaha melepaskan tangan Alvin yang mencengkeram bahunya. Jika ingin mengakhiri, maka jalan satu-satunya adalah dia harus menegakkan kepala. Menatap lurus sepasang mata itu.

"Kalau itu bener, lo mau apa? Emangnya apa lagi yang lo harapkan dari orang yang udah jelas bilang benci sama lo? Bahkan rasanya gue muak cuma berhadapan dengan lo sekarang." Sorot matanya menyala-nyala. Ekspresinya berubah sengit.

Vanta lalu melanjutkan, "Ahh ... jangan bilang kalau lo sebegitu enggak tau malunya, berharap kita masih lanjut?"

Setelah kalimat menohok yang dilontarkannya, ia dapat melihat Alvin membelalak menatapnya tak percaya. Raut wajahnya kusut. Rahangnya mengetat kaku menyimpan emosi.

Ada sesak yang mendadak menghunjam paru-paru Alvin. Bagian paling menyakitkan dari skenario ini adalah ketika semua kebersamaan dan kebaikan hanyalah rekayasa semata. Pergi bersama, saling menghibur, bertukar waktu, dan berbagi sayang. Jadi, semuanya palsu?

Alvin merasa konyol ketika teringat akan sesuatu. Selama mereka jadian, tidak pernah ada satu pun kata suka yang didengarnya. Jelas sudah. Meski ia tetap menolak percaya, kenyataan bahwa Vanta mungkin tidak pernah balik menyukainya merajam dirinya berkeping-keping.

Tiba-tiba Alvin tertawa keras. Tawa yang terdengar begitu hambar. Menyugar rambut dengan cengkeraman kedua tangan. Satu tinju keras berhasil melayang ke dinding di belakang Vanta hingga gadis itu sempat terkesiap kaget.

"Hebat." Laki-laki itu menggeleng sembari bertepuk tangan. "Mestinya lo jadi aktor."

Sesungguhnya bukan hanya Alvin yang merasakan sakit itu. Bagai diterjang palu godam, hati Vanta ikut remuk. Dia kesulitan bernapas. Seolah semua oksigen di sana raib dari jangkauannya.

Matanya terasa perih dan memanas. Kerongkongannya kering tak terjamah. Kepalanya seolah menolak untuk menerima stimulus kejadian tersebut. Namun kakinya mati rasa seolah tak bisa digerakan. Bahkan Vanta tidak bisa untuk segera beranjak pergi dari sana.

"Selamat," kata Alvin lagi. Dengan senyum penuh luka yang menghias bibirnya. "Lo berhasil bikin gue hancur. Lo bebas dari gue." Suaranya rendah dan menusuk.

Selanjutnya, lelaki itu mundur teratur beberapa langkah. Masih jelas dalam ruang ingatannya, sorot mata nestapa yang terakhir kali dilayangkan Alvin padanya sebelum cowok itu membungkuk dalam-dalam.

"Gue minta maaf, buat semuanya." Dan berlalu pergi setelah mengucapkan kata-kata terakhir untuk gadis itu.

***

"Oke, ini ruangan tim desain, ya. Nanti kalau kamu mau tanya-tanya, boleh sama tim desain lain yang ada di sini." Agung, yang merupakan penanggung jawab di agensi desain itu membawa Vanta ke ruangannya setelah mengajak berkeliling.

Vanta mengangguk. "Terima kasih, Kak."

Dia baru saja meletakkan tas di meja yang akan ditempatinya ketika seorang cowok memasuki ruangan.

"Eh?" Vanta tampak linglung melihat siapa senior di tempat kerjanya. Sementara cowok itu terpaku sebentar di tempat sebelum menghampiri mereka.

"Lo ... magang di sini?"

"Lo kerja di sini?"

Keduanya saling tunjuk dan bertanya berbarengan.

"Wah, ternyata kalian udah saling kenal ya? Baru aja gue mau minta lo arahin dia karena gue liat kalian satu almamater," tutur Agung menepuk pundak cowok itu.

"Oh, kenal," sahut cowok yang baru masuk.

"Kalo gitu Alvian, tolong ya ...."

Sepeninggal Agung, keduanya masih berdiri dengan canggung. Sedangkan Vanta seperti tidak percaya pada nama yang disebut kak Agung barusan.

Alvian katanya??

"Al ... vian?" Tanpa sadar dia menyuarakan pertanyaannya dengan sebelah alis terangkat.

"Nama gue emang itu."


=== BERSAMBUNG ===

Hei, kamu ...

Iya, kamu.

Udah baca sampai part ini, tinggalin jejak nggak kamu?

Vote dan comment supaya Otor tetap semangat berkarya ya >3<

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now