Sebelum Ada Korban Lain

Mulai dari awal
                                    

Kini tali itu berada tepat di hadapan. Kuraih, lalu memasukannya ke leher. "Tendang kursinya, Bal," bisik Suara halus di telinga.

Kutendang kursi. Seketika itu leherku tercekik. Aku meronta-ronta, meminta pertolongan, tapi tak ada seorang pun datang. Dada ini sangat sesak, disertai rasa sakit di leher.

"Bal! Iqbal!" panggil Suara seseorang.

Dug! Dug! Dug!

"Bal! Bangun!"

Sontak aku terbangun dari tidur, sembari menarik napas panjang.

Dug! Dug!

"Bal!" Ternyata itu suara Petra yang memanggilku sembari menggedor-gedor pintu. Ingin menyaut panggilannya, tapi tenggorokan ini terasa sakit.

Tuk! Tuk! Tuk!

Petra mengetuk kaca jendela, sambil menengok ke dalam. "Woy! Buka!" teriaknya.

Aku bangkit, lalu membuka pintu. "Parah daritadi dipanggilin kagak bangun-bangun!" omelnya.

"Gua lagi tidur, Pet," balasku, sambil menahan rasa sakit di tenggorokan.

"Tidur apaan! Gua liat tadi lu nyekek diri sendiri. Tuh liat aja ke kaca, masih ada tandanya!"

"Hah? Masa?" Aku melihat cermin. Benar, ada tanda merah melingkar di leher.

Pantas saja, rasa sesak dan sakit itu terasa sampai bangun tidur. Apa Riana ingin membunuhku? Kenapa?

"Woy! Bal! Mulai deh, diem lagi," ucap Petra.

Reflek aku menoleh, "Sekarang jam berapa?"

"Jam lima. Buruan bantuin di depan."

"Bantuin apaan lagi?"

"Pasang balon! Ya ... apa kek. Daripada di kamar sendirian, terus nyekek diri sendiri."

Aku dan Petra berjalan ke ruang tamu. Terlihat karpet sudah digelar. Gelas-gelas minuman kemasanan dan kue camilan pun tertata rapih di bagian tengah.

"Baru muncul nih anak," tegur Supri. "Eh itu leher merah amat. Hayo! Abis ngapain kalian berdua?" imbuhnya.

"Kagak ngapa-ngapain!" balasku dan Petra, kompak.

"Itu si Iqbal, tidur sambil nyekek diri sendiri. Untung gua bangunin, kalau kagak, bisa nambah satu lagi," sambung Petra.

"Serius?" Amira menghampiri kami, lalu menatapku.

"Gua juga gak tau, yang jelas pas bangun leher gua sakit sama napas sesak banget," jelasku.

"Emang lu mimpi apaan?" tanya Supri.

"Tadi gua mimpi dikejar-kejar anjing gitu." Aku tak mau bercerita yang sebenarnya, nanti mereka malah semakin takut.

"Emang tuh anjing gigit leher? Kan biasanya kaki?" tanya Amira.

"Kalau yang dimimpi gua agak laen emang. Malah gigit leher," balasku.

"Oh, begitu. Ya udah, kalian mandi atau siap-siap dulu aja. Nanti abis magrib kumpul di sini lagi."

Sekitar pukul 18:15, warga sekitar sudah mulai berdatangan. Bapak kos pun sudah hadir, bersama seorang Ustad kenalannya.

Sebelum acara pengajian di mulai, bapak kos mengajak Pak Ustad naik ke lantai dua. "Harus cepet dibersihin. Sebelum ada korban lain," ucap Pak Ustad sembari menuruni tangga. Aku tak sengaja mendengarnya, karena posisiku sedang berdiri di depan kamar.

SEBELUM ADA KORBAN LAIN

Kalimat yang cukup menggangguku. Apalagi jika dihubungkan dengan kejadian yang menimpa Mbak Cici dan Daniar. Keduanya mengalami kecelakaan akibat ulah Riana. Belum lagi, kejadian yang menimpaku tadi.

Pengajian dimulai dengan membaca surat yasin, dilanjutkan dengan membaca ayat-ayat rukiyah. Diakhirnya dengan doa bersama. Setelah itu, aku, Petra dan Supri membagikan nasi box pada setiap warga yang datang.

Warga mulai membubarkan diri. Sementara Pak Ustad dan Bapak Kos masih mengobrol di teras. "Semoga aja doa kita sampai. Biar Riana bisa lebih tenang," ucap Supri seraya melipat karpet.

"Amin!" sahutku.

Dep!

Listrik tiba-tiba padam. Hanya berselang beberapa detik kemudian terdengar suara orang berteriak dari arah dapur.

BERSAMBUNG

Riana - Lepaskan Tali di LeherkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang