Pergi ke Masjid Kampus

Start from the beginning
                                    

"Kan, di deket masjid gak ada yang jual makanan."

Kami berjalan menyusuri jalan utama kampus. Ditemani lampu jalan berwarna kuning. "Pet, lu gak diomelin tidur di masjid?" tanya Supri.

"Santai aja. Soalnya kondisi darurat," sahut Petra. Aku baru ingat kalau ia bukan muslim. "Boleh, kan, Bal?" tanyanya.

"Boleh, kayanya," sahutku.

Di hadapan kami sudah ada danau kampus. "Mau ngeliling apa lewat danau?" tanya Supri yang berjalan paling depan.

Sebenarnya, lebih dekat melewati danau dibandingkan harus memutar melewati gedung Fakultas Ekonomi. Namun, perasaan ini mengatakan untuk mengambil jalan memutar.

"Lewat Fakultas Ekonomi aja," sahutku.

"Setuju gua. Setidaknya lewat sana lebih terang dibanding lewat pinggir danau. Kalau tiba-tiba ada si Nganu, bisa bahaya," timpal Petra.

"Oke." Supri berbelok ke arah gedung Fakultas Ekonomi.

Kami melangkah dengan cepat, melalui ruangan kelas yang kosong dan gelap. Beruntung, semua lampu koridornya dinyalakan.

Supri menghentikan langkah. Sontak aku dan Petra yang berjalan di belakangnya ikut menghentikan langkah. "Ada apa, Pri?" tanya Petra.

"Bukannya di samping kiri itu gedung Fakultas Manajemen?" tanya Supri.

"Iya, terus?"

"Kemaren Mbak Cici kecelakaan deket sana, kan?"

"Stop! Nggak usah bahas di sini! Mending sekarang buruan ke Mesjid," selaku, karena takut kalau percakapan itu akan mengundang kehadiran Riana.

"Bener juga kata si Iqbal. Lu jangan mancing-mancing, Pri!" sahut Petra.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Kini hanya tinggal satu belokan saja, masjid kampus sudah langsung terlihat. Setelah berbelok, kami di hadapkan dengan jalan lurus, dengan pepohonan di kanan dan kiri.

Supri mempercepat langkah. Spontan, aku dan Petra pun menyusulnya, hingga kami berjalan sejajar. Tak ada sedikitpun obrolan. Fokus menatap Masjid Kampus yang sudah semakin dekat.

Srek! Srek!

Terdengar bunyi gesekan antara dedaunan. Padahal aku tidak merasakan ada angin yang berhembus. Tak ada satupun dari kami yang berani mengecek sumber suara itu.

"Lu nyium sesuatu, gak?" tanya Petra.

"Kagak. Dah buruan jalannya! Gua udah merinding," sahutku, semakin mempercepat langkah.

"Bal," panggil Suara yang entah berasal dari mana.

"Lu denger, gak?" tanya Petra.

"Denger!" sahutku dan Supri bersamaan. Lalu, kami pun berlari kencang.

"Bal, itu depan apaan!" teriak Supri yang berlari paling depan.

Aku melihat ada kain putih yang melayang-layang di salah satu pohon, di ujung jalan. Semakin mendekat, bentuknya semakin jelas.

"RIANA!" teriak Supri, lalu berlari sangat kencang.

Jelas sekali itu memang Riana. Ia sedang memperagakan adegan gantung diri di salah satu batang pohon. Sambil tertawa cekikikan dan bergerak tak beraturan.

HUA!

Aku dan Petra pun berlari sekuat tenaga, mengejar Supri. Hingga kami tiba di area Masjid Kampus. Lalu, merebahkan diri di pelataran, sambil mengatur napas.

"Asli serem banget!" ucap Petra.

"Iya. Bisa-bisanya dia ketawa sambil gelantungan," sahut Supri.

"Sebenernya lu ada masalah apa sih sama dia, Bal?" tanya Petra.

Lagi-lagi pertanyaan itu! Rasanya lelah sekali harus menjawab pertanyaan yang sama berulang kali. Padahal, aku sendiri pun tak tau alasan Riana terus mengikutiku.

Aku sangat yakin tak pernah ada masalah dengannya. Hubungan kami pun tidak begitu dekat. Bahkan malam sebelum ia gantung diri, itu pertama kalinya aku makan dengannya.

"Bal?" panggil Supri.

"Oit," sahutku. "Gua juga gak tau kenapa dia ngikutin gua terus!"

"Jangan-jangan dia suka sama lu?" terka Petra.

"Kayanya begitu," timpal Supri.

"Kalau dia beneran suka sama gua. Harusnya gak ganggu gua terus. Biarin gua hidup tenang," balasku, seraya bangkit. Lalu berjalan ke arah kamar mandi.

"Mau ke mana lu?" tanya Petra.

"Kencing!" sahutku.

BERSAMBUNG

Riana - Lepaskan Tali di LeherkuWhere stories live. Discover now