•part13•

Mulai dari awal
                                    

Mendengar nya semua anggota OSIS berjalan mendekati murid serta uang di genggaman. Termasuk sang ketua.

"Di mana Lo dapat?" Pertanyaan itu tidak hanya keluar dari mulut Damar, melainkan yang lainnya.

"Tas ini." Tunjuk pria itu menenteng tas mini berwarna hitam di udara.

Deg.

Jantung Damar seolah ingin lepas dari sarangnya. Dia sungguh terkejut melihat tas yang amat familiar di penglihatan Damar. Tas ini selalu menempel di punggung gadis mungil itu. Gadis yang saat ini menjadi kekasihnya. Alyska.

Damar menggeleng kuat. "Gak! Gak mungkin." Tepis Damar menyangkal. "Lo pasti salah kan?"

Murid itu menggeleng kuat. "Gue emang dapat di tas ini,"

Gerakan cepat mampu membuat murid ini terkejut kala Damar menarik kera baju nya dan menatap nyalang.

"Bilang kalo ini salah. Lo fitnah dia kan?" Amarah Damar tentu tak bisa di tepis. Gimana tidak, saat ini gadisnya akan menjadi tersangka dalam kasus rumit. Dan bisa di tebak jika dia akan di keluarkan dari sekolah terus di masukkan ke penjara.

Semua menatap Damar takut-takut. Mereka bahkan tidak pernah melihat emosional Damar separah ini. Sebelumnya Damar hanya menampakkan wajah tenang, gelisah, dan bertanya-tanya jika ada masalah. Namun sekarang lelaki ini sungguh-sungguh memperlihatkan kemarahan.

------

Mau di tepis atau tidak. Semua sudah di depan mata. Damar bahkan tidak bisa menyela pengakuan ini. Pengakuan di mana dia sendiri yang harus melaporkan kepada kepala sekolah siapa yang sudah mencuri uang tersebut.

Setelah mengetahui siapa sang pelaku, para guru langsung membawa Alyska menuju ruang kepala sekolah. Tentu tanpa ada paksaan, karena gadis itu menerima dengan tenang, seakan bukan dia pelakunya. Walau saat di beritahu jika uang belasan juta berada di dalam tas Alena, dia langsung shock. Namun segera di tepis karena bakal tidak ada cara untuk membantah.

Sesampainya di depan ruang kepala sekolah. Alena langsung masuk, namun langkahnya terhalang kala mendapat cekalan tangan dari belakang.

"Gak usah takut. Aku tau bukan kamu pelakunya," orang itu adalah Damar. Sedari tadi dia terus mengikuti Alena menuju ruangan Bu Alia. Damar berkata seolah tengah menenangkan gadis ini, padahal Alena sama sekali tidak menunjukkan ekspresi takut atau sebagainya. Malah Damar yang menunjukkan sikap itu. Kalo gini kan seharusnya Alena yang bilang itu.

Mengangguk kemudian tersenyum manis. Langkah Alena lanjut menuju ruangan ini. 

Sesampainya, Alena dapat melihat guru perempuan setengah paruh baya beda-beda tipis dengan usia papa tengah duduk di tengah ruangan, pas berhadapan dengan pintu.

Alena berjalan mendekati kursi. Tanpa di suruh, dia sudah menduduki kursi tersebut.

"Saya mau bertanya. Dan kamu jawab jujur!" Perintah Bu Alia dengan ekspresi serius. Biasanya guru ini jika berhadapan langsung dengan Alena, dia tidak pernah berekspresi begini. Hingga mampu membuat Alena mau tidak mau harus menjawab serius sesuai dengan apa yang di suruh.

"Apakah benar, kamu yang sudah mengambil uangnya?"

Alena menggeleng cepat seolah emang bukan dia pelaku dari semua ini. "Bukan Bu." Setelah menjawab. Terdengar jelas helaan napas lega dari Bu Alia.

"Bagus kalo begitu." Syukurnya. "Untuk beberapa menit ke depan kamu dan saya akan terus di sini. Seolah kita sedang melakukan interogasi."

Menautkan alis bingung. Alena sudah berpikir jika guru ini benar-benar termakan uang haram itu. "Saya gak mau! Emangnya udah berapa banyak sih papa ngasih uang sogokan untuk ibu? Kenapa ibu terima uang itu? Apa kurang gaji ibu selama ini hingga mau Nerima uang haram?" Ungkapan Alena ini sudah lama dia pendam. Dan mungkin sekarang akan terbakar, bila perlu bisa tersambar kemana-mana.

My transmigration [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang