4

9.1K 563 8
                                    


"Kita sudahi rapat hari ini, tolong Pak Reza dan Pak Diki per-esok hari laporkan progressnya pada saya, paling telat lusa." Ujarku menutup meeting hari itu. Jam menunjukkan pukul empat setengah sore.

Rapat internal itu membahas tentang projek Ourban yang sedang menangani projek pembangunan resort megah yang ada di Lombok. Ourban dipercaya untuk menjadi salah satu mitra bisnis pembangunan resort bertemakan alam terbuka. Projek ini perbulan depan diharapkan akan segera rampung, maka dari itu Ourban saat ini sangat sibuk dan mencoba semaksimal mungkin meminimalisir kesalahan serta berusaha tetap memberikan yang terbaik agar projek itu siap dengan sempurna.

Aku keluar dari ruang rapat sambil melonggarkan dasi di leher, di belakang ada Reza dan sekretarisnya mengekoriku.

"Kamu langsung pulang, Gal?" tanya Reza padaku.

Aku mengangguk.

"Baiklah, hati-hati."

Aku pamit padanya dan langsung masuk dalam lift meninggalkan lantai 18 Ourban Group. Lantai tertinggi di gedung perusahaan dan juga menjadi lantai dimana ruanganku dan ruangan direktur lain berada.

Seperti prediksiku pagi tadi, hari ini Jakarta diguyur hujan deras yang disertai dengan guntur yang datang silih berganti. Jalanan mulai macet karena jam pulang kerja sudah dimulai dan juga sedikit buram karena volume hujan yang tinggi.

Entah berapa lama aku terjebak macet, yang pasti saat itu aku sedang berada di dekat pemberhentian angkutan umum. Mataku menangkap sosok yang sangat akrab sedang berteduh disana. Ia masih menggunakan setelan kerjanya.

Buru-buru aku memarkirkan mobilku di depan halte itu dan mengambil ponsel untuk menghungi orang yang kulihat itu.

"Savanna, masuk ke mobil!" titahku begitu sambungan kami terhubung.

"Terima kasih, tapi jam kerja sudah usai. Saya tidak dalam keadaan bisa diberi perintah oleh bapak." Balasnya ketus. Dari balik kaca mobilku aku bisa melihat wajar datarnya yang berbicara dengan ponsel ditelinganya.

Ia memberiku tatapan mematikan walau terhalang kaca mobil.

Oh, marah ya?

Insiden aku mengusirnya tadi pasti membuatkan kesal setengah mati.

"Cepat!" ulangku tak mengindahkan perkataannya.

"Saya bisa sendiri!" ujarnya bersikeras.

Savanna. Tidak pernah berubah. Dia sangat tegas dan pemberani, sekalipun padaku. Apalagi saat jam kerja usai, Ia memang tidak akan segan-segan padaku. Aku bosnya di kantor padahal.

"Cepat, Savanna! Hujan seperti ini kamu tidak akan mendapatkan tumpangan maupun angkutan umum." Bujukku sekali lagi.

Kalau saja rasa kemanusiaan ku setipis bulu kucing, mungkin sudah sejak tadi aku meninggalkan dia seorang diri di halte. Kebaikanku langsung tak dihargai olehnya, jelas aku tersinggung. Tapi aku tidak tega, dia adalah sekretaris yang paling cocok selama bekerja denganku. Jika dia kenapa-kenapa, aku juga yang rugi.

Kulihat dari jauh dia mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tas. Sambil menutupi kepala dengan tangannya, Ia berlari menuju mobilku. Lantas langsung duduk di jok belakangku. Wajahnya tidak semanis biasa, Savannah gagal menyembunyikan emosinya. Ia tampak cemberut dan jengah padaku.

"Kamu marah?" tanyaku sambil kembali melajukan mobil. Aku mengarahkan mobil menuju perumahannya tinggal.

Ia tak menjawab, mengabaikan pertanyaan ku.

"Seharusnya yang marah itu saya, Savannah!" selorohku. "Kamu yang asal-asal, tapi kalau ditegur, kamu malah balik marah ke saya."

Dia tetap mengabaikan perkataan ku. Dengan sangat sengaja Ia memalingkan wajahnya ke jendela, melihat-lihat keluar. Memperhatikan rintik hujan yang sedang membasahi bumi.

Istri Untuk Pak Bos ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang