Rendezvous pt.2

3 0 0
                                    

Gedung itu kosong, maklum karena sudah lama terbengkalai. Suasana disana mencekam. Ketiga pemuda dalam rombongan memegang senter, sedangkan gadis satu-satunya di rombongan itu menodong pistol. Waspada.

Hanya ada suara jangkrik dan burung hantu kala itu. Hikari berseru menyuruh mereka berhenti berjalan. “Ada apa, Hikari?” Acid bertanya. Mata Hikari menerawang sekitar, “Musuh didepan.” Jawabnya pendek, menodongkan senjatanya ke depan. Corazon tersenyum simpul, “Insting yang bagus. Berapa perkiraan jumlah musuh, Hikari?” Tanyanya.

“Tujuh orang. Kurang lebih.”

“Keliru, mereka lebih dari sepuluh.”

Mereka sontak terkejut. Corazon hanya terkekeh pelan, mengeluarkan pedang tipisnya. “Tak ada waktu untuk terkaget-kaget seperti itu, kawan. Kalian harusnya tahu resikonya, apalagi lo, Cid.”
Acid diam. Ia mengeluarkan sembilan bilah pisaunya. Sudah dalam kuda-kuda wapada.

Nether menatap mereka, tatapan yang sulit diartikan."

“Kita berpencar, gue mengenali gedung ini, di depan bakal ada dua jalan. Gue dan Acid ke jalan kanan, lo dan Hikari ambil jalur kiri.” Tutur Nether, bersitatap dengan Corazon.

Corazon mengernyitkan dahi, namun tetap menerima arahan Nether.

Mereka berpencar, membawa senjata masing-masing.

***

Di sisi Nether dan Acid.

Mereka berlari menyisiri lorong itu. Meski Corazon dan Hikari mengatakan terdapat banyak musuh disana, mereka belum menemukan apapun. Mereka berjalan dalam diam, hanya derap kaki dan helaan napas yang terdengar.

“Hei, Cid. Ini ada jalan menuju lorong lain, gue yakin itu juga harus diperiksa. Blackmailer bisa berada di mana saja, apalagi di gedung ini.” Tutur Nether memecah keheningan. Mendengar itu, derap langkah Acid terhenti, disusul Nether.

“Apa maksud lo tentang Blackmailer? Tau darimana lo?”

Nether mengerjap-ngerjap, salah tingkah, “Ugh, tak ada waktu untuk semua itu, yang jelas, akan kuberitahu jika aku menemukan mereka.” Ia menyelesaikan kalimatnya sambil berlari ke jalan itu, meninggalkan Acid yang masih diam membisu.

Ini sungguh mencurigakan. Pikirnya.
Acid lengah.

Tiba-tiba, mulutnya ditutupi oleh sebuah tangan, kasar sekali.

“Ini yang dicari Nyonya Riza.”

“Mhmm!”

***

Di tempat Hikari dan Corazon.

Berbanding terbalik dengaan Acid dan Nether, suasana di tempat Corazon dan Hikari jauh lebih panas, pertempuran dua lawan puluhan orang kelompok itu. Hikari mem-backup dari belakang, sewaktu-waktu ia juga maju, melawan musuh dengan pistol, dari jarak dekat.

Corazon juga beringas, menghabisi musuh-musuh di depannya. Setengah dari musuh rata. Di bagian belakang, masih ada sekelompok orang lagi, dengan senapan di tangan mereka masing-masing. Jumlah mereka jika dihitung sekilas sekitaran sepuluh.

Mereka melontarkan peluru ke arah Corazon dan Hikari. Kedua orang itu segera berlindung di balik dinding, menunggu momen.

Orang-orang itu mendekat. Momen yang sangat tepat.

Corazon menggunakan teknik menghilangnya, bergerak cepat tanpa diketahui musuh.

Tersisa Hikari di balik dinding sana. Hikari berlari keluar dari balik dinding, tanpa perlindungan. Ia menghindar dengan lincah—tidak ada yang tahu siapa dan dimana Hikari melatih insting bertarungnya.

Gerakannya lincah. Ia berlari kencang menghindari semua muntahan peluru, seperti Harimau yang berusaha lari dari pemburu.

Corazon juga. Menggunakan dinding yang sudah terkelupas oleh peluru nyasar sebagai pijakan, ia melesat, menghunuskan pedangnya. Senjata-senjata yang dipegang orang-orang itu terjatuh, sekaligus dengan tangan para pemegangnya.

Mereka berteriak histeris, menatap ngeri senjata mereka yang terlepas beserta anggota tubuh mereka yang memegangnya. Hikari sebagai eksekutor, menghabisi mereka yang sudah tak berdaya dengan pistol di tangannya.

Begitu terus, menyerang dengan kombinasi hebat—yang tak kalah hebat jika eksekutornya Acid, hingga musuh tak satupun yang tersisa.

Tak ada lagi musuh yang muncul di lorong gelap.

Corazon menghela napas lelah, menoleh, mendapati Hikari yang terduduk, memegangi luka tembak di bahunya. Pendarahannya cukup banyak.

“Hikari!” Corazon berseru. “T-tenang, Kak. Ada perban di tas selempangku.“ Hikari melepas tas selempangnya. Corazon segera membongkar isi tas itu, terdapat obat-obat medis di dalamnya. Ia mengambil perban.

“E-emm… Hikari—”

“K-kalau kakak ga bisa, aku bisa sendiri kok, jaga-jaga aja di sekitar.” Hikari meraih perban itu, berbalik badan, Menyingkapkan pakaiannya, bahunya yang terluka terekspos.

“Biar gue bantu.” Corazon duduk bersimpuh, mengambil perban di tangan Hikari. Mulai membalut luka Hikari. Hikari merintih sakit, mengusap wajahnya, menahan rintihannya. Wajahnya bersemu.

Tiga menit, Corazon selesai membalut lukanya. Hikari memasang bajunya kembali, menutup perban itu. Corazon diam sejenak, mengeluarkan pedangnya, menyayat sedikit lengannya. Hikari melihat itu sontak berseru terkejut, “Kakak ngapain? Tangan kakak luka!”

“Diam, hisap darah gue.” Corazon berujar  singkat. Hikari melotot, “Aku bukan vampir, kak! Ini cuma luka, ugh..” Belum selesai kalimat Hikari, ia mengaduh lagi.

Corazon menghela napas, “Cepat, pertarungan belum usai. Kita harus selamatin Caby.” Lengannya ia sodorkan ke depan mulut Hikari. Hikari ragu, “K-kak… ga perlu—”

“Cepat, atau gue pakai cara yang lebih kasar.”
Hikari mendengus, memejamkan mata, menjilat sedikit darah Corazon.

“U-udah…” Hikari menyeka ujung bibirnya. Corazon menyeringai, “Bagus.” Ia mengusap lukanya, pendarahannya dengan cepat berhenti.

“Ayo, infokan Acid juga.” Corazon merogoh saku jubahnya, meraih Handphone nya. Menekan kontak Acid.

“Cid, lorong disini sudah terselesaikan, beri aba-aba titik—“

“Segera kemari, GPS ponsel ini sudah saya hidupkan. Atau teman anda akan dieksekusi sendirian.”

Corazon menelan ludah. Telepon dimatikan sepihak oleh yang di seberang. Corazon menurunkan tangannya dari telinganya, ponselnya kembali bersarang di saku.

“Kita pergi sekarang, Hikari. Lo bisa berlari?” Corazon menatap serius Hikari. Hikari menebak, pihak yang disana pasti mengalami masalah, atau, sudah menemukan ‘masalah terbesar’ nya.

Hikari mengangguk, berdiri memegangi bahunya—darah Corazon belum berefek banyak sepertinya.
Corazon memutar bola mata malas. “Tak ada waktu, sekarang atau tidak selamanya.”

Dengan cepat, ia menggendong Hikari di punggungnya. Hikari hendak protes, namun Corazon sudah melesat dengan cepat menelusuri lorong-lorong.

“Apa yang terjadi disana?” Seru Hikari.

“Hasil pancingan besar. Kita harus bergabung menangkapnya.” Jawab Corazon, napasnya terengah-engah, terus berlari.

Hikari mengangguk-angguk. Paham.

“Kita telah menjadi pembunuh berantai, yang bertanggung jawab atas pembantaian pasukan ini, heh."

Corazon menyeringai, “Itu hanya bagi lu, Hikari. Gue udah dari dulu.”

Antara Kenangan dan Kenyataan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang