Netherrack, a.k.a Varuna.

4 0 0
                                    

Pulang sekolah, jam 14:30

Acid menunggu Hikari dan Corazon di tempat tadi. Mereka masih belum menunjukkan batang hidung mereka. Pasti Hikari mencari-cari Corazon—yang memang langsung menghilang entah kemana setelah kelas terakhir selesai. Pikirnya. Acid terus menunggu.


“Aha, ada tiga orang, Acid, Hikari, dan Corazon, ya?”

Acid tersentak, suara siapa itu? Dia mengetahui identitas mereka.

***


Meanwhile, di tempat lain,

Hikari berlari-lari kecil,mencari Corazon kesana kemari. Perasaan bersalahnya semakin bergejolak, ketika teringat kembali kisah Acid tadi.

Ketemu.

Hikari menemukan Corazon, menyendiri di rooftop, memegang sebotol coca cola. Headset menutup telinganya. Pemuda itu menyadari kedatangan Hikari, lantas menatap gadis yang menghampirinya. Ia mengalungkan Headset di leher. Menyeringai.

“Yo.”

Sapanya.

Hikari mendekati Corazon. Menatapnya—dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kak Zon, ga baik loh minum beginian sering-sering.” Ucap Hikari, menggenggam tangan Corazon yang memegang coca cola. Corazon terkekeh pelan, “Hei, fisik gue ga selemah yang lu kira. Lu lupa kalau gue udah lulus sekolah di kehidupan lain, hm?” Corazon membalas.

Hikari bungkam. Ia melepas genggaman tangannya, tertunduk di hadapan pemuda di depannya.
“Maaf atas yang tadi, Kak Zon.” Lirih Hikari. Poni menutupi wajah gadis berambut sebahu itu. Corazon terkekeh, kemudian berdiri. Ia berdecih pelan,

“Acid ngasih tau lu, ya? Cih, dasar. Seingat gue kami sepakat, masa lalu itu hanya kami yang tau.”

“But well, kalau orangnya lu, mungkin bakal gue maafin. I kinda like you, thought.” Ujarnya.

Ah, yakinlah, jantung Hikari berdegup kencang disana.

“Hoi hoi, jangan tertunduk kayak gitu, dong. Wajah lu ga keliatan.” Corazon menyisir poni Hikari dengan jari, menyingkirkannya—agar bisa melihat wajah cerah Hikari. Wajah Hikari panas dan memerah, semoga Corazon tak menyadarinya.

“A-ah, Kak Acid minta kita ke—“

“Ya, gue tau, dimana lagi coba. Memang itu tempat yang pas.” Ujar Corazon santai. Ia menggenggam tangan Hikari, menariknya pergi. Hikari mengangguk-angguk, mengikutinya.



***


“Lo, siapa lo?”

“Ternyata benar, kalian bukan dari dimensi ini. Sama seperti gue.”

“Katakan, lo siapa?” Bentak Acid.

Orang itu melepas jaketnya, memperlihatkan wajahnya.

“Gue Varuna, panggil aja Varun,” Ia menyeringai, “Atau, dikala sepi, lo bisa panggil gue, Nether.”

Acid terkesiap, “L-lo… Nether? Kenapa lo ada di sini? Lo… bukannya lo menghilang sejak kelas 3 SMA dulu?” Nether terkekeh,

“Hei, tujuan kita berada disini sama, Acid. Hanya tujuan Hikari dan Corazon yang berbeda. Lo pada juga pasti dikabarkan menghilang di kehidupan sana, dan mungkin, dalam tiga hari, lo pada bakal terlupakan.”

“T-terlupakan?”

“Aha! Gue terkejut, lo bisa ya inget tentang gue. Bahkan gue yakin, nyokap gue di rumah sana udah lupa dia punya anak. Dan ya, lo bakal terlupakan, sama siapapun di kehidupan sana.”

“Kalo ada  orang yang ingat sama lo, kemungkinan besar, ia bakal mampir kesini juga. Oh, which that means, lo ditakdirkan buat masuk kesini ya? Keren! Tujuan kita juga sama disini, gue yakin kita bisa jadi teman dekat, kalo lo mau—“

Tiba-tiba, sebuah benda tajam tipis—seperti shuriken melesat, mengincar kepala Nether.

Nether dengan lincah menghindar dengan cepat, sepersekian detik sebelum benda itu mengenai kepalanya. Benda itu mengenai udara kosong, menancap di tembok.

“Ah, Corazon, ya? Tidak buruk. Kenapa? Cemburu karena gue coba-coba akrab dengan teman satu-satunya lu?” Seru Nether menyeringai, melihat ke arah utara, dengan Corazon dan Hikari di sana. Corazon menatap pemuda itu dingin,

“Lo mau apa dari dia?.”  Tanyanya dingin.

“Wah, lo marah? Hey, ini pilihan sahabat lo buat tinggal disini, loh. Tidak ada paksaan, kawan.”

Nether berjalan mendekati Corazon, menatapnya intens beberapa detik.

Poor Corazon… pasti sulit ya dengan kehidupan lo di sana. Gimana, kalo lo tinggal disini aja? Hou, bahkan kekasihmu ingin tinggal disini, bukan? Benar ‘kan, Hikari-san?”

Hikari tak menjawab.

Corazon terkejut, kemudian mendengus kesal, hanya memalingkan muka, tak ingin berdebat.

To the point, lo mau apa?” Tanya Corazon. Nether tersenyum simpul,

“Simpelnya, gue sama seperti kalian—ah maksud gue Acid, lelaki yang diputuskan cintanya oleh takdir, dan ingin mengulang cintanya di kehidupan lain, dimana takdir merestui cinta ini.” Tuturnya.

“Cih, cinta? Omong kosong. Ayah gue tak pernah mengajari hal seperti itu."

“Hei hei, Señor Corazon, bukankah lo juga ngerasain cinta?”

Corazon tergelak pelan.

“Jangankan cinta, mungkin, gue emang terlahir tanpa hati.” Corazon menyeringai, terkekeh halus.
Mendengar itu, Hikari terdiam, menatap Corazon iba—lebih ke tatapan sedih. Acid mengusap wajahnya kasar.

“Nether, jangan buat tempat ini jadi tempat mengenang hal yang menyakitkan baginya, bodoh.” Seru Acid, Nether hanya diam,

“Oh ya, maaf untuk itu, Señor Corazon.”

“No importa.”  Jawab Corazon singkat.

Dari kejauhan, samar-samar ada suara teriakan seseorang, perempuan. “Kak Varun! Kak Varunaa! Ayo pulang! Aku udah nunggu loh dari tadi!” Seru gadis itu meneriaki Nether. “Iya, sebentar, Ki! Aku datang!” Balas si pemuda yang diteriaki.

Nether balik badan, “Pikirkan lagi, Acid. Dan lu, Corazon. Ayo, coba pikir-pikir lagi. Kalo keputusan lo udah bulat buat balik, gue bakal bantu lu. Hikari, putuskan, siapa yang akan lu ikuti.” Ucapnya.

“Kuberikan waktu satu hari satu malam, Kawan. Putuskan kemana kalian akan pergi. Apapun itu, jika aku mampu, akan kubantu kalian.”

Mereka terkesiap, apa maksudnya?

“Siapa sebenarnya gue? Tunggu saja, dan waktu akan membawa kalian menemukan jawabannya.”

Antara Kenangan dan Kenyataan.Où les histoires vivent. Découvrez maintenant