21. Disha dan dia

210 25 3
                                    

~Happy Reading~

.

.

.

Udara sejuk tersa dipagi ini, waktu menunjukkan pukul setengah delapan. Masih terlalu pagi, tetapi ada saja yang berbuat
bullying di jam sepagi ini.

Disha Clarista, nampaknya ini hari sial untuknya. Ah tidak, menurutnya setiap hari ia merasakan kesialan. Lihatlah saat ini, berkali-kali bola basket mengenai bagian tubuhnya, dan parahnya hal itu memang disengaja. Tidak keras memang, tetapi mampu membuatnya merasa nyeri.

"Woi cupu! Ambilin bolanya."

Disha berjongkok guna memungut bola berwarna orange itu, dia berjalan menghampiri Rena yang bersedekap dada sembari menatapnya tajam. Tangannya bergetar saat mengulurkan bola, setelah Rena mengambil bola itu, Disha membalikkan badan guna menjauh. Jantungnya berdegup kencang, ia sangat takut jika Rena kembali mem-bully dirinya.

Dan benar saja, belum genap sepuluh langkah Disha berjalan, bola kembali menghantam punggungnya lumayan keras. Bahkan kacamata yang ia kenakan ikut terjatuh. Disha mengambil kacamata miliknya yang kini telah menjadi dua, sebenarnya tidak akan seburuk itu jika hanya terjatuh. Namun, kacamata itu memang sebelumnya sudah rusak, dan itu karena ulah Rena yang sering mem-bully dirinya. Disha menatap nanar kacamata minus itu, sepertinya ia sudah tidak bisa memperbaikinya sendiri.

"Aduh sorry, gue gak sengaja. Lagian, kacamata udah buluk kayak gini masih aja dipake. Gue cuma mau bantu lo biar punya kacamata baru, jadi gue rusakin deh," cetusnya. Rena yang nampaknya masih belum puas itu mengambil kacamata yang berada ditangan Disha lalu melemparnya sejauh mungkin.

"Nah, kalau gini pasti lo bakal punya kacamata baru."

Banyak teman yang satu kelas dengan Disha menatap gadis itu prihatin. Ingin membantu, tetapi ia tak mau berurusan dengan Rena. Namun, tak sedikit pula yang nampak antusias dengan apa yang dilakukan Rena.

Beginilah jadinya jika kelas keduanya digabung saat pelajaran olahraga, terlebih guru olahraga mereka masih belum datang.

"Lepasin tangan lo!"

Rena menoleh terkejut, tangannya perlahan turun dari rambut Disha. Padahal niatnya ingin melepas kepangan gadis itu.

"Apa sih? Ganggu aja."

"Gue bilang lepasin," tegasnya lagi. Laki-laki bertubuh jangkung itu mendekati Disha dengan tatapan elangnya.

"Kenapa? Mendingan lo bantuin gue deh."

"Lo udah keterlaluan tau gak? Lo pikir karena lo anak dari pemilik sekolahan, gue bakalan takut diem aja?"

Rena gugup. Sebenarnya ia agak takut saat lelaki itu menatapnya tajam. Namun, ia masih mencoba santai, ia tidak ingin jika reputasinya sebagai pem-bully hancur begitu saja.

"Lo cowok! Banci lo kalau ngelawan cewek!" selorohnya cepat.

"Pengecut. Lo berani ngebully karena jabatan bokap lo."

Cowok itu melirik ke arah Disha yang terdiam. Dia menarik lembut pergelangan tangan gadis itu agar mengikuti langkahnya. Sudah cukup ia menjadi pusat perhatian, dan mungkin ia tidak akan melakukannya lagi. Dia tidak suka saat banyak pasang mata yang memandangnya seolah ia sebuah berlian.

Disha melirik pergelangan tangannya, entah apa yang saat ini dia rasakan. Seseorang di depannya menghentikan langkah dengan tiba-tiba, hal itu membuat dirinya ikut berhenti. Disha mendongak kala mencium bau khas obat-obatan.

"Lo bisa ngobatin luka?" tanyanya yang membuat Disha refleks mengangguk.

"Yaudah, obatin sendiri tangan lo. Lain kali, kalau lo ngerasa Rena udah keterlaluan, lawan aja kali, ngapain takut sama dia."

"Gue pergi."

Setelah laki-laki si pemilik suara bariton itu pergi, Disha melirik tangannya yang terdapat lebam. Ia tebak, bahkan punggungnya pasti juga lebam. Namun, Disha tak memusingkan hal itu, kini ia hanya berpikir bagaimana ia menjelaskan ke Ibunya tentang kaca mata yang telah dirusak itu. Mungkin, kali ini ia harus berbohong lagi.

Dengan langkah gontai, Disha berjalan menyusuri lorong menuju kantin. Membolos, mungkin dia akan melakukan itu sekarang. Lagipula, bagaimana ia bisa belajar tanpa kacamata? Karena tempat duduknya yang paling belakang, ia jadi tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ditulis guru di papan tulis tanpa kacamata.

Disha duduk disalah satu bangku kosong seorang diri, disana dia merenung. Kepalanya berada diatas lipatan tangan, tatapannya mengarah pada satu titik, namun pandangannya kosong.

"Kemana aja lo?"

Disha nampak terkejut kala mendengar suara yang terdengar dekat dengannya. Dia menegakkan badannya, lalu tersenyum samar. Ternyata seseorang yang duduk dihadapannya adalah Zoya.

"A-aku ada kok. Cuman lagi fokus belajar aja, jadi jarang keluar kelas."

Zoya menelisik tampilan Disha yang tampak berbeda. Rambut yang dikepang dua itu nampak berantakan, bahkan satu karet disana ada yang putus. Dan juga, kacamata yang tidak ada ditempatnya.

Namun, tak lama kemudian Zoya mengalihkan pandangannya saat suara Dara terdengar menyeruak di telinganya. Gadis itu datang dengan nampan yang berisi dua mangkuk mie ayam dan juga dua gelas es teh.

"Ambil, buat lo." Zoya menggeser mangkuk itu pada Disha.

"Tapi aku--"

"Gue gak mau denger penolakan dari mulut lo. Tinggal makan aja, apa susahnya?"

Disha menunduk, senyum kecil terbentuk saat kedua ujung bibirnya terangkat. Disha berucap terimakasih dengan suara pelan, kemudian menikmati mie ayam yang masih hangat itu.

"K-kamu gak makan?" tanya Disha saat sadar Zoya hanya diam sembari mengedarkan pandangannya. Sesekali gadis itu menatap layar ponsel.

"Gue udah kenyang."

"Dis, lo pernah suka sama orang gak sih?" tanya Dara dengan tiba-tiba. Dara menatap  Disha penuh intimidasi seolah gadis itu seorang pencuri.

"A-aku--"

"Ah gue tahu, pasti lo gak pernah suka sama orang ya? Apalagi sama orang yang udah punya pacar, gak mungkin banget," sela Dara. Gadis itu menyeruput teh yang terasa manis itu dengan santai.

"Eh, tapi gimana kalau suatu saat lo suka sama pacar orang. Lo lebih milih ngerebut, atau ikhlasin aja lihat dia bahagia walaupun gak sama lo?"

Disha diam seribu bahasa, ingin menyahut tetapi rasanya situasi saat ini sangat canggung.

"Lo apaan sih? Pertanyaan lo gak guna tau gak?" sahut Zoya yang merasa terusik. Setelahnya, Zoya melangkah meninggalkan keduanya, terserah mereka ingin bicara apapun.

Melihat kepergian Zoya, Dara kembali menatap Disha. Kini mimik wajahnya sedikit berubah, tak seceria saat masih ada Zoya.

"Disha. Gue seneng lo jadi temen gue sama Zoya. Tapi, jangan pernah bersikap busuk, oke?" Dara tersenyum lebar. Lalu kembali melahap mie miliknya. Keadaan jadi hening, Disha yang hanya bungkam membuat Dara terkekeh.

"Santai aja kali, gak perlu tegang gitu. Habisin makanan lo."

Disha mengangguk kaku. Di benaknya terputar perkataan Dara yang membuatnya bingung. Entah apa maksud gadis itu.



~TBC~

Selamat menunaikan ibadah puasa, bagi yang menjalankannya..

Terimakasih telah membaca💛

Terus dukung para penulis dengan vote dan juga komen.

Mungkin ada yang udah tau siapa 'dia' yang dimaksud?

See you next chapter👋

Published: 090422

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang