12. Tokoh Ekstra

Mulai dari awal
                                    

Hap—

Jeremy melompat dari atas pohon dan mendarat sempurna tepat di sampingku.

Meski begitu aku tidak berniat untuk menatapnya, pandanganku masih terfokus pada pantulan bulan yang ada di danau.

Pemandangan yang sangat indah. Di dunia ku yang dulu, mustahil untuk melihat hal seperti ini.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanyaku.

Seharusnya Jeremy tidak ada disini sekarang. Melihat apa yang sudah dia lakukan, seharusnya dia merenungi tindakannya.

Aku yakin Roxana pasti memarahinya.

"Bukankah seharusnya itu pertanyaanku? Kau yang tidak pernah keluar kamar tiba-tiba ada di tempat seperti ini."

Tuh, benarkan? Tidak imut sama sekali.

Barusan dia menyindirku nolep karena tidak pernah keluar kamar. Benar begitu, kan?

"Kau habis dimarahi Roxana?" Tanyaku.

Melihat ekspresinya yang seperti itu, sepertinya aku tepat sasaran.

Tidak mungkin Roxana tidak marah ketika tahu kalau Jeremy lah yang hampir membuat mainannya mati.

"Semua gara-gara si keparat biru itu." Omelnya.

Mau bagaimana pun juga, Jeremy masih bocah.

Sepertinya dia cemburu karena Roxana membagi perhatiannya pada Cassis.

Jeremy merasa kakaknya direbut secara tidak adil.

"Kenapa juga kak Xana tertarik pada mainan seperti itu."

Aku terus mendengarkan Jeremy yang menggerutu kesal. Tampaknya, dia benar-benar tidak bisa mentolerir kehadiran Cassis.

"Kenapa tidak? Wajahnya sangat menarik, kan?"

Kepala Jeremy menengok kearahku dengan sangat cepat.

Wajahnya tertekuk kesal seolah aku mengatakan hal yang salah.

Apa?

Aku hanya mengatakan opiniku. Siapapun yang melihat wajah itu pasti memiliki pikiran yang sama denganku.

Jika ada yang bilang Cassis Pedelian itu jelek, mungkin orang tersebut harus memeriksakan mata mereka ke dokter.

"Haha... Seharusnya tadi aku mendukung pilihan kak Ether untuk menghukum keparat biru itu secara langsung."

Hei. Kau jangan libatkan kakakku yang bodoh itu.

Jangan buat pintu kaburnya tertutup hanya karena pernah menyiksa pemeran utama laki-laki.

Chop

Aku melakukan karate chop ke kepala Jeremy dengan ringan.

"Jangan melibatkan Ether pada hal tidak penting seperti itu."

Wajah Jeremy terlihat memerah karena marah, ia terlihat ingin berteriak kearahku namun entah kenapa mengurungkan niatnya tersebut.

Pandangannya jatuh ke tanganku yang dibalut dengan perban.

Dia meraih tanganku yang masih diatas kepalanya dan menatapnya dengan seksama.

"Keparat biru itu... Lain kali aku akan buat perhitungan dengannya."

Aku tidak mengerti kenapa semua orang melebih-lebihkan tanganku yang terluka.

Padahal lukanya tidak separah itu. Malahan lebih parah lukaku ketika bertarung habis-habisan dengan Dion.

𝐁𝐋𝐎𝐎𝐃 𝐀𝐍𝐃 𝐓𝐄𝐀𝐑𝐒 || twtptflobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang