#47 Tell the Truth

Start from the beginning
                                    

"Karena lemonade."

"Masih diinget aja," ucapnya tersenyum.

"Mana bisa dilupain? Lo orang pertama yang siram gue pake lemonade dengan tanpa perasaan."

"Dan lo orang pertama yang potong rambut gue dengan tanpa perasaan."

"Aahh..." Ekspresi wajah Alvin seketika berubah murung. Dia mengusap tengkuknya, menyesali perbuatan di masa lalu.

"Gue nggak bermaksud bikin lo merasa bersalah. Itu udah lewat. Lagipula rambut gue mulai panjang, coba liat." Vanta memutar kepalanya menyamping, menunjukkan rambut yang sudah mulai bisa terkuncir. Senyumnya seolah berkata, "I am fine, don't worry".

Kebaikan dan kepolosan gadis itu membuat Alvin semakin tenggelam dalam perasaan. Maka, hal yang dilakukan pemuda itu selanjutnya adalah menarik Vanta secara refleks. Merengkuh gadis itu dalam dekap tangannya. Kemudian Alvin berbisik lembut, "Sorry...."

***

Setiap kali habis bertemu gadis itu, mood-nya pasti berkali-kali lipat membaik. Hanya mengingat wajahnya saja selalu bisa membuat dia tanpa sadar mengukir senyum. Mungkin dia harus coba melukisnya untuk menyalurkan bayang-bayang wajah Vanta yang selalu muncul memenuhi isi kepalanya.

"Kamu sudah pulang,"

Alvin menoleh tanpa menjawab. Membenahi raut yang semula berseri-seri dan kembali memasang benteng pertahanan tinggi-tinggi. Dia bisa saja mengabaikan kalimat basa-basi itu, tidak perlu menjawabnya. Seperti yang selama ini dia lakukan. Namun kesepakatan dengan Vanta untuk mencoba move on terus terngiang. Sehingga kakinya berhenti melangkah. Berdiri diam di ruang tengah saat suara itu menyapanya.

"Kamu ada waktu?" tanya Raffael yang duduk di sofa. "Mau minum teh?" Kemudian mengangkat cangkir porselen yang ada di depannya.

Butuh waktu beberapa detik untuk pemuda itu berpikir sebelum ia memutar tubuhnya dan bergabung duduk di sofa. Alvin sedikitnya sudah menduga. Bahwa ajakan minum teh itu merupakan pembuka dari pembicaraan serius yang akan disampaikan sang ayah.

***

"Ma, Ata udah selesai cuci piring ya." Gadis itu mengelap tangannya pada kain yang tergantung di dinding dekat sink cuci piring.

Sementara mama masih sibuk dengan bahan-bahan makanan di dapur. Persiapan untuk besok memasak. "Iya, istirahat gih."

Baru saja dia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja konter dapur, saat benda kecil itu bergetar di tangan dengan jeritan ringtone tanda panggilan masuk.

Dari Alvin.

Alvin?

Tadi Vanta memang mengiriminya pesan, sekadar bertanya apakah laki-laki itu sudah tiba di rumah seperti biasanya. Tapi selang dua jam tidak ada balasan. Hanya menerka kalau Alvin tidak sempat mengecek ponselnya saat pulang. Sehingga tanpa menduga sesuatu telah terjadi, Vanta menekan tombol hijau di layarnya. Mengira kalau cowok itu hanya akan menjelaskan mengapa dia telat menjawab pesannya tadi.

"Ya?" sahutnya sambil melangkah ke kamar.

"Lo di rumah kan?"

Sedikit bingung Vanta menyahut. "Iya, kenapa?"

"Bisa keluar sebentar?"

Vanta mengerjap, sedang mencerna ucapan Alvin barusan.

Tapi kemudian laki-laki itu melanjutkan, "Gue di depan rumah lo."

Baru masuk kamar, Vanta sudah bergegas keluar lagi saat mendengarnya ada di depan. Menuju ruang tengah untuk membuka pintu rumahnya. Kalau tidak salah, di luar gerimis. Kenapa malam-malam begini cowok itu datang lagi?

Melihat Alvin yang sudah berdiri di depan gerbang rumahnya diserbu oleh rintik gerimis yang semakin deras, ia buru-buru membuka pagar.

"Lo kenapa malem-malem gini ke sini? Gerimis pula, malah keluar mobil. Besok kan masih bisa—"

Kalimat Vanta berhenti begitu saja ketika cowok itu tiba-tiba memeluknya erat. Sangat erat, sampai rasanya Vanta sulit bernapas.

"Vin?"

"Sebentar aja. Please...," mohonnya. Sambil membenamkan wajah di pundak Vanta.

Keheranan, namun tetap diam menuruti cowok itu. Menepuk-nepuk punggung Alvin pelan berusaha menenangkannya. Teringat mereka ada di depan rumah, Vanta mengedarkan pandangan ke sekeliling. Untung jalanan rumahnya sudah sepi. Tidak ada tetangga yang berada di luar rumah lagi. Dia lalu menoleh ke ruang tamu.

Menimbang-nimbang sejenak sebelum bertanya, "Mau masuk?"

Cowok itu mengangkat wajahnya. Pipinya basah. Entah karena gerimis atau air yang merembes dari sudut-sudut matanya. Satu yang pasti, keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Vanta kemudian menuntunnya masuk. Menyuruh Alvin duduk di sofa ruang tamunya.

Penampilannya tampak kacau, ekspresi wajahnya nanar. Vanta tidak bertanya apa yang terjadi. Dia hanya mengusap pundaknya mencoba menenangkan.

Saat itulah mama datang, bertanya, "Ada apa, Ta?"

Beliau sedikit kaget melihat kehadiran Alvin. Tetapi Vanta menatap mamanya dengan pandangan memohon, menunjuk Alvin dengan pandangan matanya agar diizinkan berada di sana sementara. Mama yang paham dengan situasi tersebut kembali ke dapur, membuatkan teh hangat.

"Dia... minta maaf, Van," ujarnya dengan kepala tertunduk. Kedua telapak tangannya menopang dahi, menutup sebagian wajah.

Vanta yang duduk di sebelahnya masih setia mendengarkan. Tidak berniat menyela sedikit pun.

"Dia kasih tau gue semuanya." Laki-laki itu menurunkan tangannya. Kesepuluh jarinya terlipat di pangkuan.

Masih menunduk dengan mata memerah, dia melanjutkan, "Gue salah...."

Rupanya ayah Alvin sudah memberitahunya. Kesimpulan yang muncul di pikiran Vanta setelah mendengar kalimat tak utuh dari cowok itu.

"Gue... salah ya?" ulangnya, kali dengan pertanyaan.

Setiap kata yang keluar dari mulut Alvin terdengar begitu pilu. Menularkan sesak yang juga dapat dirasakan Vanta. Sebagai jawaban dia menggeleng.

"Lo nggak salah, Vin. Bokap lo nggak salah. Semua menyimpan deritanya masing-masing. Nggak ada yang perlu disalahkan."

Cowok itu menoleh lirih dan bertanya lagi, "Gue harus gimana?"

Di hadapannya bukan lagi Alvin yang percaya diri seperti biasa. Bukan Alvin yang jahil dengan ketengilan ekstranya. Hanya seorang pemuda yang pernah memiliki goresan di hati dan tidak tahu cara menyembuhkannya.

Maka, yang bisa dilakukan oleh Vanta yang tidak punya jawaban atas pertanyaannya hanyalah memberi pelukan pada lelaki itu. Berharap rasa sesaknya dapat sedikit terangkat.

Sambil mengelus puncak kepalanya, dia berkata lembut, "Vin, nggak semua harus lo cari tau jawabannya. Terkadang kita cuma perlu menghadapi kenyataan dengan ikhlas. Menerima kejadian yang udah berlalu. Jalani hidup lo sekarang. Nggak perlu bertanya-tanya gimana ke depannya."

Ya, begitulah yang Vanta pelajari dari pengalamannya selama ini. Bahkan Alvin juga salah seorang yang mengajarkannya demikian secara tidak langsung.

"Lo memang nggak bisa mengulang momen bersama nyokab lo meski akhirnya tau apa yang terjadi. Tapi, lo bisa mulai membuat kenangan yang baru sama bokap lo. Jangan sampe muncul penyesalan serupa nantinya."

Malam itu, Alvin menuangkan semua beban yang ditampungnya. Dengan Vanta sebagai pendengar sekaligus tempatnya bersandar. Mereka tidak lagi sendiri. Dia percaya, keberadaan mereka telah ditakdirkan untuk saling melengkapi.


=== BERSAMBUNG ===

Jadi pengen ikutan peluk Alvin T_T

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now