6. Surat Ancaman

369 59 1
                                    

Sudah satu hari yang lalu, Kala tinggal di rumah barunya bersama kedua orang tuanya. Kala memasuki rumah bertingkat dua itu ketika hari sudah mulai sore. Matanya beralih kepada seorang perempuan yang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah lelah.

Kala menghampiri Artika, mamanya yang sedang melamun itu. Kala duduk disamping Artika dan mengambil tangan mamanya, lalu menciumnya.

"Assalamualaikum, Ma," ucap Kala menyadarkan Artika dari lamunannya.

"Eh, waalaikumsalam. Anak Mama udah pulang ternyata," balas Artika seraya memberikan tatapan hangatnya.

"Mama kenapa?" tanya Kala. Sebenarnya, akhir-akhir ini Kala menyadari bahwa Artika sering melamun, dan Kala sepertinya tahu hal apa yang dipikirkan mamanya itu.

"Nggak papa," jawab Artika dengan senyum tipisnya.

Pandangan Artika tertuju kepada suaminya yang baru keluar dari kamar dengan setelan jas kantornya.

"Papa mau kemana? Bukannya tadi baru pulang?" tanya Artika dengan nada halus. Kala hanya menatapnya dengan tatapan datar.

"Ada urusan sebentar," jawab Arzan.

"Nggak mau makan dulu?" tawar Artika.

"Makan di luar aja, sekalian ketemu sama klien," balas Arzan dengan nada cuek.

"Ketemu klien atau ketemu selingkuhan?" sentak Kala to the point.

Arzan menghentikan langkahnya, dan menatap putra satu-satunya itu dengan tatapan tegas. "Jaga ucapan kamu, Kala," ucapnya dingin.

Kala menatap tak kalah dingin. Sedangkan Artika menatap khawatir kepada anak dan suaminya yang saling melempar tatapan dingin sehingga atmosfer di antara mereka menjadi tegang.

"Kala, udah." Artika mengelus lengan Kala agar anak itu tetap tenang dan membiarkan Arzan pergi saja.

"Saya kan hanya bertanya," ucap Kala dengan bahasa formal seolah-olah orang yang ia ajak bicara bukanlah papanya.

Ya, sejak Kala merasa bahwa Arzan berubah. Sejak Kala merasa bahwa keadaan rumahnya menjadi berbeda. Dan sejak kehangatan dalam rumahnya itu berganti menjadi kekosongan seolah ada satu bagian yang hilang, Kala mengubah gaya bicaranya ketika berbicara kepada Arzan. Bagi Kala, sekarang Arzan bukanlah papa yang ia kenal, bukan lagi seorang suami yang menyayangi istrinya. Arzan lebih terlihat tidak peduli kepada keluarganya.

"Jangan bicara sembarangan sama Papa, Kala. Papa sama sekali nggak selingkuh. Apa kamu nggak bisa ngertiin Papa, kalo Papa itu sibuk?" Arzan berusaha merendahkan intonasinya.

"Sibuk sama wanita lain maksudnya?" sinis Kala.

"Sopan santun kamu mana, Kala?" Arzan menahan emosinya.

"Terus, Papanya Kala yang dulu mana?" balas Kala enteng.

Arzan mengepalkan tangannya. Ia lebih memilih pergi keluar daripada bertengkar dengan Kala. Sedangkan Kala menatap kepergian Papanya dengan tatapan kosong.

"Kala, kamu nggak boleh kaya gitu," nasihat Artika.

"Tapi Papa juga nggak bisa kaya gitu, Ma," balas Kala dengan nada tidak terima.

"Mungkin Papa emang lagi sibuk. Kamu nggak boleh ngomong kaya gitu sama Papa, kamu juga berubah sama Papa. Mama sedih kalo liat Kala berantem sama Papa," ucap Artika lembut.

"Kalo Papa nggak berubah, Kala juga nggak akan berubah sama Papa," bela Kala.

"Mama kenapa masih percaya sama Papa? Bukannya Mama bilang, Mama liat Papa sama perempuan lain? Bilang sama Kala, perempuan itu siapa?" tanya Kala bertubi-tubi.

The Mysterious Killer (End)Where stories live. Discover now