Pulang Nak, Pulang

72.4K 5.6K 465
                                    

Author's POV

Seorang pria tengah duduk mematung saat jutaan pertanyaan dilayangkan padanya. Walau keringat dingin membasahi punggungnya yang tegap, tapi isi pikiran pria itu hanya memikirkan keberadaan sang istri yang entah pergi ke mana. Ardhi sekarang sedang duduk dikelilingi tatapan tajam semua orang padanya, sudah hampir empat bulan Dara menghilang, dia tidak tau lagi harus bertanya pada siapa jika bukan pada keluarga Dara. Namun, sampai di sini justru dialah yang ditanyai ke mana Dara pergi, hatinya terenyuh melihat wajah bersalah mertuanya yang nampak pucat begitu mendengar semua penjelasan darinya tentang kenapa Dara melakukan gugatan dan sekarang pergi menghilang entah ke mana bak ditelan bumi.

"Bajingan! Gue nggak bela Dara saat Bapak mukul dia karena gue pikir dia yang salah, tapi ternyata lo yang kumpul kebo? Dasar Bajingan!"

Rifky tidak bisa menahan amarahnya, dia beranjak dari duduknya dan meninju wajah Ardhi hingga membuat pria tampan itu tersungkur dan pasrah menjadi samsak tinju sahabat sekaligus Kakak tertua istrinya. Pukulan Rifky terhenti begitu Hanifa yang merupakan istrinya menahan dirinya untuk berhenti memukuli Ardhi, apalagi sekarang kondisi wajah korbannya sudah babak belur penuh luka lebam yang membiru, darah segar mengalir dari hidung mancung Ardhi.

Berbeda dengan anak sulungnya, Sakti dan Mira hanya terdiam mencoba mengolah apa yang menantunya itu katakan. Saat mereka mendengar menantunya mengatakan kata 'tidur dengan wanita lain dan kemudian menikahinya' hati mereka seperti dibelah oleh sebilah belati, menyisakan luka yang dalam teramat perih. Tubuh keduanya seperti tengah terkoyak oleh bilah tajam.

Segelintir rasa bersalah hinggap di relung keduanya. Terlebih Sakti, bayang-bayang saat dia menyakiti dan memukuli putri kesayangannya terlintas begitu saja di pikirannya, membuat pelupuk matanya memanas, hatinya tak kuasa menahan rasa bersalah. Dara disakiti oleh suaminya, bukannya menjadi pelipur bagi anaknya, Sakti malah menambahkan garam di luka menganga putrinya.

"Brengsek lo! Kalau Dimas di sini, gue yakin lo bukan cuma babak belur. Lo bakal mati! Beruntung cuma gue yang datang, bajingan lo Ardhi! Bajingan!" maki Rifky sambil terus menunjuk orang di depannya.

Ardhi kembali berdiri, dia lebih dari pantas untuk dihina dan dipukuli seperti tadi. Saat ini bukan luka di wajahnya yang membuatnya merasa kesakitan, tapi hatinya. Ardhi merasa seperti tertancap ribuan pisau saat mendengar bahwa mertuanya sempat menyakiti Dara. Sungguh Ardhi ingin menemui wanitanya saat ini juga, memeluk Dara dan memberinya kenyamanan dalam pelukan hangatnya.

"Bapak, Ibu dan Rifky, saya sungguh minta maaf. Semua kejadian itu benar hanya terjadi karena ketidak sengajaan, saya terpaksa harus menikahi Syifa secara agama, tapi detik itu juga saya menalak dia. Demi Allah saya mencintai Dara, sangat." ucap Ardhi dengan suara parau yang sarat akan sakit dan pedih, sudah seperti kipas angin reyot.

"Anjin*, kalian semua tai! Busuk, lebih rendah dari kotoran!" umpatan itu datang dari Jendra yang muncul dari kamarnya dan menunjuk semua orang yang ada di ruangan itu. Sontak Sakti melotot marah ke arah anaknya, walaupun hatinya masih terasa sakit dengan kenyataan yang baru diketahuinya.

"Jaga mulut kamu Rajendra!" tegas Sakti seraya mendekati putra bungsunya, tubuh mereka kini saling berhadapan satu sama lain. Tatapan Sakti mengintimidasi, tapi Jendra tidak sama sekali merasa takut. Semua orang di ruangan itu melihat ke arah mereka.

"Apa? Bukannya Bapak sendiri yang mengusir Teh Dara? Lupa? Apa perlu aku ingatkan kalian semua? Bukannya A Dimas dan A Rifky juga enggak menahan saat Teh Dara diusir Bapak? Jangan lupa, saat itu juga Ibu hanya diam. Jadi jangan munafik! Di sini, semua orang di sini ikut ambil andil dalam kepergian Teh Dara, aku ingatkan kalau saat itu Bapak juga mengatakan bahwa rumah ini haram diinjak oleh kaki Teh Dara kalau dia nggak datang bersama si bajingan itu!"

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang