"Woww... mau dong, disayang." Terdengar kekehan geli dari seberang sana.

"Ish, keceplosan. Biasa Jessi yang suka panggil-panggil terus...."

"Udah selesai belom lo?"

"Udah. Ni mau tidur. Sakit pinggang, gue."

"Kalo tempat lo nggak nyaman, besok mau ngerjain tugas di rumah gue?"

Vanta mengambil jeda sejenak untuk berpikir. "Di... rumah lo? Apa nggak pa-pa?" Teringat ayahnya Alvin sedang pulang ke rumah.

"Emang kenapa? Kan cuma ngerjain tugas. Apa lo mau sekalian sayang-sayangan juga?"

"Argh! Dibilang nggak sengaja!"

Alvin malah menertawakannya.

"Ya udah, istirahat deh lo."

"He-eh. Bye...."

"Good night, 'Sayang'." Cowok itu sengaja menekankan kata sayang sebelum tertawa lagi dan menutup telepon.

Dia nggak tau, dampaknya bikin Vanta nyaris kejang-kejang saking malunya. Laki-laki itu selalu tahu cara membuat Vanta mendidih. Meski hanya tersenyum atau menatapnya, dia selalu mampu membuat Vanta meleleh.

Vanta lalu merebahkan diri di kasur. Matanya yang belum terpejam menatap langit-langit kamar. Kerut di sudut-sudut bibir akibat menahan senyum segera pudar. Sebetulnya, ada sesuatu yang tidak diceritakan pada Alvin mengenai alasannya yang terburu-buru pulang siang tadi.

***

Siang tadi, setelah kelas terakhir Vanta.

Vanta bergegas melangkah ke salah satu kedai kopi ternama di mal yang tak jauh dari tempat tinggalnya sambil mencengkram kedua tali ransel erat. Jantungnya berdetak cepat bukan hanya karena dia yang setengah berlari, tapi juga karena cemas dengan situasi yang akan dihadapinya nanti.

Seharusnya dia pulang bersama Alvin hari ini. Tetapi karena panggilan tak terduga, tekpaksa dia membuat alasan untuk keluar kampus lebih dulu tanpa menunggu cowok itu.

Setibanya di kedai kopi tempat janji temunya, ia menyapukan pandangan ke sekeliling. Mencari sosok yang meminta waktunya untuk bertemu. Ketika menangkap penampilan seseorang yang tak asing, Vanta mengatur napas sejenak. Mempersiapkan diri sebelum menyapa pria itu.

"Selamat siang, Pak,"

Orang yang disapanya pun mengangkat wajah dari gelas kopi yang masih mengepul.

"Vanta Lollyta?" tanya pria paruh baya itu memastikan. Kemudian dibalas anggukkan oleh Vanta. "Silakan duduk," ucapnya.

Vanta mengambil tempat di seberang pria itu. Duduk sembari bermain tebak-tebakan dengan pikirannya. Telapak tangannya mendadak berkeringat.

"Kamu mau pesan sesuatu?"

"Tidak apa-apa, terima kasih."

"Oh ya, perkenalkan, saya Raffael Geraldy. Kamu pasti bingung mendadak dipanggil seperti ini. Saya cuma mau mengobrol sedikit."

Dalam hati, Vanta bertanya-tanya. Mengapa waktu pertemuan ini tepat sekali? Tidak lama setelah ia jadian dengan Alvin, ayahnya mengajak bertemu. Masa untuk meminta Vanta putus dari putranya? Apa beliau akan meyiramnya dengan kopi panas? Atau melemparkan selembar cek seperti di film-film?

Vanta memainkan jari-jarinya di pangkuan. Duduk dengan peraasaan tidak tenang. Masih menebak-nebak apa yang ingin disampaikan pria yang wajahnya mungkin akan sama dengan Alvin di masa mendatang.

"Boleh saya bertanya?" izin Vanta.

"Ya, silakan."

Tanpa mengurangi rasa hormat, ia bertanya, "Maaf, Bapak mengajak bertemu sebagai Rektor di kampus kami, atau... sebagai ayahnya Alvin?"

Pria itu diam sejenak lalu tersenyum. Tidak ada aura permusuhan atau tatapan tak suka dari Raffael. Beliau cenderung tenang. Vanta sampai merasa kesulitan memprediksi apa yang dirasakan pria ini.

"Kamu memang gadis yang cerdas. Pantas saja mendapat beasiswa penuh." Raffael menyeruput kopinya sebelum memulai lagi. "Saya cuma penasaran, seperti apa teman yang dibawa Alvin ke rumah. Gadis itu... kamu kan, yang beberapa kali datang baru-baru ini?"

"... Saya kurang tau, apa Alvin membawa teman lain selain saya. Tapi mungkin, iya, itu saya."

"Rasanya tidak ada lagi yang datang. Mengingat dia tidak pernah mengajak siapa pun ke rumahnya sejak... dia SMP."

Raut Vanta seketika berubah, teringat akan hal-hal yang diceritakan lelaki itu. Dia dan segala masalah keluarga yang dialaminya.

"Apa kamu tau keadaan keluarganya?" tanya Raffael menyadari reaksi Vanta.

Bola matanya sempat melirik ke arah lain, ragu untuk menjawab. Tapi kemudian Vanta mengedip sekali dan mengangguk.

"Kalau begitu, anggap saja saya mengajak bertemu sebagai ayah Alvin. Melihat kamu yang sepertinya dekat dengan dia, saya ingin berterima kasih."

"Berterima... kasih?" Vanta merasa bingung.

"Anak itu... dia benar-benar berubah. Selama ini meskipun jauh, saya terus mengawasinya. Tapi dia tetap sama, selalu membatasi diri dengan orang lain. Membuat masalah sebagai bentuk pemberontakannya sejak dia SMA. Tapi sejak saya melihat kedatangan kamu bersamanya, dia jadi lebih dewasa."

"Itu... apa maksudnya... Bapak mengawasi kami?" tanya Vanta hati-hati. Takut kalau kalimatnya menyinggung atau bahkan tak tepat.

Tetapi Raffael tersenyum, menunjukkan sorot mata sungkan. "Maaf. Saya tidak bermaksud begitu. Hanya saja, saya merasa senang dengan perubahan sikapnya."

Terjawab sudah, alasan mengapa Vanta belakangan merasa seperti diikuti. Rupanya itu bukan cuma khayalannya. Tapi memang dia telah diamati.

"Maaf membuat kamu tidak nyaman. Saya sendiri merasa tidak enak, tapi saya ingin bertemu langsung dengan orang yang membawa perubahan pada hidup anak saya. Dia tidak melarikan diri dari saya lagi. Kami bisa duduk di ruangan yang sama. Dia bahkan mau menjawab pertanyaan saya," Raffael berhenti sesaat. Menahan perasaan berkecamuk dalam dada.

Pria paruh baya itu mulai berkaca-kaca. Dia menarik napas panjang untuk mengendalikan sesuatu yang hampir tumpah.

"Itu... sungguh kemajuan yang luar biasa. Kamu pasti orang yang penting untuknya, sampai-sampai bisa memencairkan pribadi yang keras seperti dia," imbuh Raffael.

Menerima pujian atas hal yang tidak benar-benar dilakukannya membuat Vanta tidak enak hati.

"Saya tidak melakukan apa-apa. Sungguh... . Dia yang punya keinginan untuk berubah. Saya rasa jauh di lubuk hatinya, dia rindu dengan keluarganya."

Setelah Raffael berterima kasih sekali lagi dengan tulus pada Vanta, mereka mulai mengobrol ringan. Raffael bertanya tentang Alvin di kampus dan teman-temannya. Rupanya ayah Alvin sangat ramah. Beliau juga bertanya pada Vanta, apakah dia bersedia menemuinya lagi kapan-kapan untuk menceritakan tentang Alvin? Dia tidak ingin menahan Vanta terlalu lama hari itu. Sebab Raffael tahu para mahasiswa sedang dalam masa UTS.

Selama tujuh tahun putranyamenutup diri, akhirnya ada seseorang yang dipercayanya untuk berbagi. Dan ituadalah seorang gadis cerdas dan baik di mata Raffael. Meski mungkin belum lamaVanta mengenal putranya, tapi setidaknya ada banyak cerita yang bisadisampaikan dari seseorang yang secara langsung berada di sisinya.

=== BERSAMBUNG ===

Bisa aja Vanta keceplosannya :v

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now