Bertemu Masalalu I

2.8K 611 22
                                    

"Tuhkan, apa aku bilang." Aku memutar bola mataku dengan malas mendengar nada menyebalkan dari Nyonya Kaya yang terdengar seolah ingin menceramahiku, yaelah aku salah di bagian mana? Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan putraku, niatku ke pusat perbelanjaan ini untuk dating dengan Gavin, dan dia, justru dengan seenaknya meminta izin untuk ikut hanya untuk membuatku menjadi Babunya. Tahu gini mending aku langsung tancap gas pulang ke rumah, "Anak-anak tuh nggak apa-apa dijagain Nana sama Hasan! Nana sama Hasan itu sudah biasa jagain Thasa yang main sama anak komplek!"

Aku mencibir dan aku bisa melihat Nanny-nya yang bernama Nana meringis, tampak jelas jika tugas menjaga anak si Majikan beserta dengan anak komplek bukan hal yang menyenangkan mengingat betapa aktifnya Tasha walau dia perempuan, ini si Nyonya Kaya jalan pikirannya benar-benar tidak aku mengerti.

Peduli, hangat, tapi kesan orang kaya yang suka seenak jidatnya begitu melekat di dirinya.

Melihat Tasha mulai mendekat dan tampak mengeluhkan jika sudah waktunya topup lagi dengan mudahnya Nyonya Kaya ini memberikan dua kembar seratusan lagi, haduuh, ini orang kaya nenteng uang cash berapa banyak sih, perasaan muncul terus tuh duit.

Sama seperti Tasha yang menghambur pada Mamanya, begitu juga dengan Gavin, tapi berbeda dengan Tasha yang mengeluh jika dia belum puas bermain, maka Gavin memelukku dengan erat. Bola mata sebening kristal tersebut mengerjap, dengan senyum yang tampak di wajah tampannya aku tahu jika dia meminta sesuatu.

Aaah, aku mengenal putraku dengan sangat baik. "Mau apa, Sayang?"

Senyum sumringah nampak di wajah Gavin, senang aku menanyakan apa yang dia inginkan, "Maem, Ma! Gavin mau Subway!"

Dengan cepat aku mengangguk, mengiyakan apa yang di minta oleh Gavin, bukankah aku sudah berjanji akan memenuhi apapun yang di minta oleh putraku.

"Jangan pergi dulu dong, Sis!" Aku hendak berbalik pergi dengan Gavin menuju gerai Subway saat Nyonya Kaya ini menahanku, setelah menyanderaku menjadi porternya sekarang dia masih tidak membiarkanku untuk pergi. "Adikku belom datang!"

Aku menggeram, gigiku gemeltuk menahan jengkel atas apa alasan dia menahanku untuk tidak pergi. Sekarang aku tidak bisa menahan sikap ketusku yang meluncur dengan begitu mulusnya dari bibirku. "Bodoamat sama adiknya Kak Askia, memangnya dia siapa saya mesti saya tungguin. Saya datang kesini buat nyenengin Gavin, bukan orang lain. Entah itu Kakak, atau bahkan adik Anda yang bahkan nggak saya kenal. Sebelumnya terimakasih karena Tasha sudah baik sama Gavin. Terimakasih juga sudah mentraktir Gavin buat main. Sekarang saya pamit!"

Sedikit mendorong Gavin aku memintanya berjalan, di telingaku sendiri saja aku merasa apa yang aku ucapkan agak kasar dan juga terasa keras, tapi bagaimana lagi, aku berusaha memaklumi sikap Si Nyonya Kaya yang baru saja aku kenal ini, berpikir mungkin dia dengan tingkah ajaibnya karena dia terbiasa menjadi Nyonya dan Tuan Putri, tapi saat dia melarangku pergi dengan Gavin menggunakan alasan yang sangat konyol tentu saja aku meradang.
Heeeh, memangnya dia siapa!
Siapa juga yang peduli dengan adiknya belum datang atau tidak datang sekalipun.

Rasa jengkelku mendadak beralih saat suara ponselky terdengar, aku ingin mengacuhkannya bahkan berniat untuk membuat senyap nada deringnya saat melihat siapa yang menelpon.

Reyhan. Mendadak aku merasa tidak nyaman. Selalu keributan dengan Mutia yang akan menjadi akhir jika mantan suamiku ini menghubungiku. Sedikit tidak konsen karena harus menjawab telepon Reyhan aku membiarkan Gavin menuju kedai subway lebih dahulu.

Aku berpikir berbicara dengan Reyhan tidak sampai dua menit, mengingat aku merasa tidak ada yang perlu aku bicarakan dengan mantan suamiku. Masalah tadi pagi aku merasa semuanya sudah selesai tanpa harus aku meminta Reyhan bertemu dengan Gavin. Lagi pula aku merasa selama dua menit tidak akan ada sesuatu yang fatal terjadi.

Namun nyatanya aku salah.
Dalam dua menit banyak hal yang terjadi dan mengubah hidupku dalam untuk selamanya. Dua menit yang membuat masalalu dan masa depanku terhubung.
Dua menit yang mengubah segalanya.

***

"ASKA! KAMU ITU DIMANA SIH? UDAH KAKAK BILANG BURUAN TEMUIN KAKAK, INI LELETNYA MINTA AMPUN. AWAS SAJA YA KAMU KALAU NGGAK BURUAN, NYESEL SEUMUR HIDUP DUNIA AKHIRAT KAMU NTAR NGGAK LIHAT YANG KAKAK TUNJUKIN."

"IYA, INI UDAH MASUK KE DALAM. KE TIMEZONE KAN!"

"MUTER LEWAT SUBWAY, GOBL*K. MOGA AJA LU MASIH LIHAT APA YANG KAKAK MAU TUNJUKIN!"

Reflek Askara menjauhkan ponselnya agar telinganya selamat dari suara kakaknya yang melengking penuh dengan nada kemarahan. Hanya kakaknya yang bisa mengumpatnya sesuka hati dan memerintahnya seenak jidat.
Kakaknya tidak tahu saja jika meninggalkan tugasnya di Batalyon tidak semudah perempuan tersebut ngeluyur karena suaminya yang sibuk.

Askara harus ijin dengan atasannya, dan kemudian berjibaku dengan kemacetan, kini penderitaannya seolah terasa lengkap karena dia harus berlarian saat mendengar Kakaknya histeris, setiap hari Askia memang lebay, tapi kali ini Askara penasaran dengan apa yang ingin di tunjukkan oleh Kakaknya.

Apa yang akan membuatnya menyesal jika sampai terlewat. Pikiran Aska begitu penuh rasa penasaran kenapa dia harus berputar melewati gerai subway, sapah satu makanan cepat saji favorit Aska saat dulu mereka liburan ke Thailand, hingga Aska tidak begitu memperhatikan dengan jalannya.

"Aduuuuhhh!!!"

Sosok kecil berusia 5 tahun ini langsung terpental saat tanpa sengaja menabrak seorang yang muncul tiba-tiba dari ujung koridor, bukan hanya bocah kecil itu saja yang terkejut, tapi juga sosok pria berseragam hijau tua di depannya, pria tersebut yang tidak lain adalah Askara Utama, merasa jika tidak ada orang lain di sini dan mendadak muncul seorang kecil yang kini meringis mengusap pantatnya yang pasti sakit.

Kekehan pelan terdengar dari Askara, playboy menyebalkan yang masih betah melajang sementara kawannya sudah berkeluarga ini langsung berlutut, membantu bocah laki-laki itu untuk bangun. Seketika Askara lupa dengan telepon Kakaknya yang begitu bawel.

"Maafin Om, ya!" Ucap Aska lembut, kalimat yang langsung membuat bocah laki-laki itu yang sebelumnya tampak enggan untuk melihat Aska langsung mendongak menatap tepat kepada lawan bicaranya.

Dan saat akhirnya mata Aska bertemu pandang dengan bocah laki-laki yang ada di depannya, jantung Aska serasa berhenti berdetak, senyuman geli yang sebelumnya terlihat di bibirnya mendadak menghilang saat melihat sosok yang membuatnya serasa berkaca pada dirinya sendiri, begitu mirip dan serupa dalam versi mini dan lebih menggemaskan.

Bagaimana ada kebetulan macam ini? Batin Aska, rasanya mustahil untuk masuk di dalam akal sehatnya melihat kemiripan sampai seperti pinang di belah dua dengan orang yang bahkan belum pernah di temuinnya.

Bukan hanya detakan jantung Aska yang seolah berhenti, tapi juga dunia yang ada di sekelilingnya.
Tangan besar Askara terulur, merasakan perasaan aneh dan campur aduk dan sulit di jelaskan Askara dengan kata-kata saat mata tersebut menatapnya sendu, tapi belum sempat telapak tangannya menyentuh puncak kepala bocah tampan tersebut seseorang sudah menariknya menjauh dari hadapan Askara.

Jika ada kejutan yang mematikan untuk Askara, maka apa yang ada di depannya inilah yang serasa ingin membunuhnya. Askara menelan ludahnya ngeri, saat sosok cantik tersebut menatapnya nyalang penuh kebencian.

"Jauhkan tanganmu dari anakku!"

Rindu AskaraWhere stories live. Discover now