Gavin dan Kebencian

3.3K 547 19
                                    

Suasana sunyi begitu terasa di dalam sebuah rumah type minimalis yang berada di tengah kota metropolitan ini, suasana yang begitu kontras dengan sisi kanan rumah sunyi ini yang selalu penuh dengan suara berisik pagi hari, mulai dari para wanita yang berteriak menyuruh anak mereka mandi, dan gerutuan karena suami mereka yang protes atas kopi yang kemanisan, khas sebuah keluarga normal, di mana segala hal yang terdengar seperti keributan tersebut justru mengandung kehangatan sebuah keluarga.

Namun kembali lagi, di sebuah rumah yang hanya berpenghuni Ibu dan anak ini beserta seorang pembantu rumah tangga ini nyaris tidak ada suara yang begitu berarti, tidak ada rengekan karena lauk sarapan yang tidak cocok, dan tidak ada suara yang mengomel, hanya suara denting sendok yang menghiasi kesunyian yang terasa begitu janggal sampai akhirnya suara dari bocah tampan yang duduk tenang di kursinya tersebut terdengar.

Suara dari putra kecilku yang berusia lima tahun, sosok tampan, dan dewasa di usianya yang belum genap enam tahun. Ya, rumah tanpa nyawa yang begitu dingin ini adalah rumahku. Percayalah, percakapan antara aku dan putraku sekarang adalah hal yang sama sekali tidak aku inginkan karena saat dia menatapku dengan pandangan tajamnya, aku tahu dia akan meminta sesuatu yang tidak bisa aku berikan.

"Gavin mau ketemu Ayah!"

Benar, sesuai yang aku perkirakan, Gavin Utama, dia meminta sesuatu yang begitu sulit untuk aku penuhi, mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh Gavin dengan penuh tekad tersebut membuat nasi dengan ayam woku yang baru saja masuk ke dalam tenggorokanku terasa begitu menyakitkan.

Lama aku memandang Gavin, rasanya sangat menyakitkan saat menatap wajah putraku yang begitu mirip dengan seorang yang sangat aku benci, seorang yang menghancurkan hidupku tanpa bersisa sama sekali.

Lucu memang takdir dalam menyiksa hidupku, aku membenci setengah mati kepada seseorang, bukan hanya dirinya yang aku benci, tapi juga seluruh keluarganya, tapi kini wajah putraku adalah miniatur dari sosoknya, persis tidak ada yang berbeda sama sekali.

"Semenjak Ayah menikah kenapa Ayah nggak pernah datang nemuin kita, Ma? Apa Ayah nggak kangen Gavin?"

"Gavin...."

"Kenapa Mama biarin Ayah pergi?"

"Vin...... "

"Kenapa Ayah harus nikah sama Nenek sihir itu dan ninggalin Mama?"

Aku memejamkan mata, tidak sanggup mendengar setiap kata yang terucap dari putraku yang masih terlalu kecil untuk menanyakan alasan kenapa dunia begitu kejam pada kami berdua.

"Jawab, Mama! Kenapa Gavin nggak boleh ketemu sama Ayah semenjak Ayah menikah! Apa mereka sudah punya anak sendiri, anak Ayah dengan nenek sihir itu?"

Braaakkkk, suara keras sendokku yang aku banting menghentikan cecaran kalimat Gavin. Sungguh aku benci dengan Gavin yang mencecarku seperti sekarang, dia terus menerus berbicara, menyatakan apapun yang ada di kepalanya tidak peduli kenyataan jika aku sudah ratusan kali memperingatkannya untuk menjaga lisannya.

Ya, apa yang aku lakukan memang sukses membuat Gavin terdiam. Tapi satu penyesalan menghantamku dengan begitu menyakitkan saat melihat mata Gavin yang sebelumnya menyorotku dengan begitu tajam kini nampak berkaca-kaca.

Kembali, aku telah melukainya.
Aku ibu yang begitu buruk, sampai-sampai hanya kesakitan yang aku berikan kepada Gavin.
Tapi untuk kali ini aku menekan rasa bersalahku dalam-dalam, aku boleh gagal dalam hidup ini, tapi aku tidak boleh gagal mendidik putraku.

"Jangan menangis Gavin!" Ucapku dengan suara bergetar, melihat Gavin begitu murung sangat melukaiku. "Harus berapa kali Mama bilang, hormati istri Ayahmu, panggil beliau Tante Mutia, dan jangan membantah!" Hardikku saat Gavin kembali menatapku nyalang penuh kemarahan, "dan Ayahmu hanya akan menemuimu jika Tante Mutia mengizinkan, sudah ratusan kali Mama bilang ke kamu Vin soal hal ini."

Pandangan Gavin menunduk, dan untuk kesekian kalinya hatiku yang sudah hancur terasa di remas dengan cara yang begitu menyakitkan.

"Sebulan lagi acara perpisahan di sekolah, Gavin cuma mau Ayah datang, Ma! Gavin mau lihatin ke temen-temen kalau Gavin juga punya Ayah, bukan anak haram seperti yang mereka bilang."

Hancur, entah untuk keberapa kalinya aku menyebutkan kata ini, tapi memang itulah yang akan kalian dengar dariku, tidak peduli seberapa sering takdir meremukanku, nyatanya takdir tidak pernah bosan melakukannya. Sekuat tenaga aku berusaha terbiasa dengan hatiku yang terluka dan hancur berkeping-keping, tetap saja aku tidak tahan dengan rasa sakitnya.

Anak haram, Kata-kata tersebut seperti vonis mati untukku. Puncak dari kesalahan yang pernah aku perbuat di masalalu. Kesalahan yang menghancurkan hidupku hingga tidak bersisa sama sekali, benar-benar tidak ada yang tersisa. Yang ada di dalam hidupku sekarang hanyalah Gavin, dan juga seorang yang dia panggil Ayah.
Kesalahanku sudah menyeret pria tersebut ke dalam masalah hanya untuk menyelamatkan sisa harga diriku yang sudah ternoda nyaris tidak bersisa.

Andaikan aku bisa mengatakan pada Gavin sekarang apa yang membuat pria yang di panggilnya Ayah tidak bisa terus menerus menemuinya mungkin keadaan tidak akan serumit sekarang.

Tapi bagaimana lagi, usia 5 tahun lebih sedikit di mataku, Gavin masihlah bayi kecilku, hadiah dari Tuhan di tengah gelapnya duniaku, walau Gavin lebih cepat mengerti dan dewasa untuk seukuran bocah seusianya, tetap saja bagiku apa yang akan aku sampaikan akan membuat Gavin terluka.

Dan melihat Gavin hancur adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan.
Selera makan kami berdua sudah hilang, dengan lesu Gavin meraih tas dengan motif tobot kesukaannya dan berjalan dengan lesu. Setiap gerak-gerik putraku sangat menyayat hatiku, terlebih saat Gavin menatapku dengan pandangan marah dan terluka waktu dia meraih tanganku untuk berpamitan.

"Mama tahu, Mama sama jahatnya seperti Nenek sihir yang jadi istri Ayah, dan juga teman-teman Gavin di sekolah!"

Bisa kalian bayangkan menjadi diriku, harus mendapatkan kebencian dari darah daging sendiri karena menyembunyikan fakta yang akan menghancurkan dunianya jika dia mengetahui?
Dan buruknya aku sama sekali tidak ada daya untuk memperbaiki semua hal menyakitkan ini.

"Gavin benci sama Mama!"

Dengan lesu Gavin menggendong tas sekolahnya, berjalan perlahan menuju pintu keluar mengabaikan air mataku yang mengalir tanpa suara. Namun pertahanan diriku yang begitu kokoh hancur tidak bersisa saat suara pintu tertutup dengan keras, tangis yang sebelumnya tanpa suara kini berubah menjadi isakan teredam.

Tuhan, kenapa setiap hal yang aku lakukan selalu berakhir dengan kebencian yang aku dapatkan?
Aku percaya apa yang aku lakukan adalah hal yang terbaik untukku, untuk Gavin dan juga seorang yang Gavin panggil Ayah.
Sayangnya takdir memang tidak pernah baik kepadaku,takdir selalu menyiksaku dengan mengatakan jika segala sesuatu yang aku percayai adalah hal yang salah.

Seperti halnya saat aku mempercayakan hatiku pada seorang dengan wajah yang sama persis seperti Gavin.
Askara, aku harap hidupmu semenderita hidupku.
Karenamu aku di benci oleh putraku yang susah payah aku perjuangkan.

Rindu AskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang