Prolog

18 1 0
                                        

Unexpected Reality
(Kenyataan yang tak disangka)

◉◉◉

Takdir adalah milik Tuhan. Jodoh, rezeki, usia, dan nasib, itu semua ada di tangan Tuhan dan menjadi rahasia-Nya. Manusia hanya menjalankan roda kehidupan sesuai dengan skenario-Nya.

Di sebuah tempat pemakaman umum, beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengerumuni gundukan tanah yang telah di taburi bunga-bunga.

Desiran angin kencang berhembus menerpa pepohonan yang ada di sana. Orang-orang itu terus memanjatkan do'a hingga selesai.

Tangisan pilu dari anggota keluarga juga teman-teman almarhumah turut mendominasi. Seorang wanita mengelus batu nisan yang ada di sebelahnya dengan derai air mata yang tak kunjung habis.

"Cempaka, kenapa kamu ninggalin mama, sayang. Kenapa kamu pergi secepat itu?"

Cempaka Ariliya Arkananta, putri pertama Denis Dirga Arkananta telah meninggal dunia akibat di bunuh oleh kekasihnya yang kini sudah menjadi mantannya. Dugaan itu terbukti dengan adanya bekas luka tusuk di beberapa bagian tubuhnya yang jika di total menjadi 12 tusukan. Namun, sampai sekarang mereka tidak tahu wajah Ariga. Mengapa pihak keluarga bisa tahu bahwa pembunuhnya adalah Ariga? Karena di detik-detik terakhir, Cempaka sempat menyebut nama sosok itu.

Anggota keluarga yang mendapati hal tersebut terkejut dan sedih tak menyangka. Cempaka yang baik, sopan santun, lemah lembut dan berprestasi malah bertemu dengan lelaki seperti Ariga.

Denis yang merupakan suaminya pun mengelus bahu wanita itu. Mencoba menghibur Rinjani meskipun hati ia sama hancurnya ketika putri yang paling ia sayangi pergi dan tak akan kembali lagi.

"Ma, udah. Jangan nangis terus, nanti Cempaka nggak bisa tenang." ujarnya dengan nada lembut.

"Tapi, pa. Mama nggak bisa berhenti nangis, mama sayang sama Cempaka. Mama nggak rela Cempaka pergi ninggalin mama!"

Napas Rinjani jadi tak beraturan. Wajahnya merah dihiasi derai air mata. Siapapun yang melihatnya pasti sangat iba. Ibu mana yang tidak sedih jika anaknya pergi?

"Papa tau, papa juga sedih Cempaka pergi. Tapi, ma, nggak ada cara lain selain kita merelakan Cempaka."

"Ikhlas, ma..." lanjut Denis.

Sementara anak laki-lakinya mengelus permukaan tanah kuburan tempat di mana Cempaka diistirahatkan untuk terakhir kali. Tak kuat menahan sakit yang begitu dalam, setetes air mata mengalir bebas di permukaan pipinya. Pemuda ini langsung menyeka cairan bening tersebut.

Beberapa flashback terlintas di benaknya. Kenangan yang begitu indah namun sekarang kini menjadi sesuatu yang menyesakkan dada.

Sakit. Benar-benar sakit.

"Padahal, tadi sore kita main di bukit sembari lihat sunset. Sekarang kakak malah pergi," batin pemuda bernama Raden, menatap nanar nisan bertuliskan nama kakaknya.

Seseorang menepuk bahunya. Namun Raden tak menoleh. Lebih tepatnya, tak mau. Sosok itu berjongkok mengelusnya sembari memberi kata-kata penyemangat.

"Yang sabar, Den. Gue tau, ini berat buat lo. Gue cuma mau ngasih tau lo satu hal. Cempaka cuma pergi sebentar. Kalau Allah berkehendak, suatu hari lo akan ketemu lagi." ujar pemuda bernama Gavin.

Raden diam tak bergeming. Perasaan hancur yang terlalu dalam di hatinya membuat ia sulit untuk membalas. Jangankan demikian, mengucapkan satu huruf pun rasanya berat sekali. Gavin yang melihat itu memakluminya.

Sementara keadaan Pangeran -kakak sulung Raden- jauh lebih buruk. Dia masih tiada hentinya menangisi kepergian Cempaka.

"Lo jahat, Ka."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 13, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Unexpected Reality Where stories live. Discover now