BTR 13 • Finally, SAH!

5K 637 91
                                    

“Kata Eyang Habibie, kalau kamu dilahirkan untuk saya, dia mau jungkir balik pun, tetap saya yang dapat”

~Muhammad Abil Irsyad~

🍁🍁🍁

Zahra POV

Malam ini menjadi malam terakhirku sebelum menyandang gelar baru. Hatiku gelisah sedari selesai salat Magrib. Jujur, sampai saat ini aku belum bisa mencintai calon suamiku—Kang Abil. Aku hanya sekadar kagum padanya, tidak lebih. Entah, kapan aku bisa mencintainya layaknya cinta seorang istri pada suaminya.

Beruntung malam ini Urbi bermalam di rumah, paling tidak ada yang bisa menenangkan. Sebelum Asar tadi, Urbi datang mengendarai motor milikku yang kutinggal di pondok. Dua hari yang lalu, Bapak dan Ibu mengizinkan Urbi ke pengasuh untuk bisa pulang, dan juga meminta restu lalu memberi undangan pernikahan.

Wis to, Zah, mengko lak wis akad lak yo muncul roso tresnone. Percoyo nang aku!” ujar Urbi sembari mengelus pundak kananku.
(Sudahlah, Zah, nanti kalau sudah akad pasti muncul rasa cintanya. Percaya ke aku!)

“Musyrik noh aku lak percoyo nang sampeyan,” balasku bercanda.
(Musyrik dong aku kalau percaya ke kamu)

Raut wajah Urbi berubah kesal ketika mendengar ucapanku.

“Ututu, ojo nesu ra, aku kan guyon,” godaku sambil menggelitik perut Urbi.
(Ututu, jangan sedih, dong, aku kan becanda)

Urbi pun tertawa dan langsung membalas menggelitikku. Kami tertawa lepas, bercanda sampai terbatuk-batuk saking semangatnya. Sampai pada akhirnya, kami sama-sama terdiam. Saling menatap satu sama lain.

“Zah, lak wis nikah, ojok lali mbi aku, yo.” Perkataan Urbi membuatku sedih. Seperti baru kemarin aku bertemu pertama kali dengannya di pesantren, dan sekarang akan ada jarak yang memisahkan.

“Zah ...,” panggil Urbi dengan suara serak. Air matanya tumpah.

Aku langsung memeluknya, berniat untuk menenangkannya. Namun, ternyata hatiku tidak bisa berbohong jika aku juga merasakan kesedihan yang Urbi rasakan. Aku tidak bisa membayangkan, esok hari apakah aku masih bisa selalu ada untuknya atau tidak.

Masa terlalu cepat berlalu, hingga tanpa sadar berputar terlampau jauh. Pada akhirnya, hanya bisa menerima dan menyimpan tiap-tiap kenangan di dalamnya.

“Aku ndairo lali mbi sampeyan, Bi, sampeyan iku sahabat tapi rasa dulur. Wis ya, ayo bubuk, aku ngantuk.” Urbi kuajak tidur agar dia bisa tenang aku juga bisa istirahat untuk acara besok.
(Aku gak bakal lupa sama kamu, Bi, kamu itu sahabat rasa saudara. Sudah ya, ayo tidur, aku ngantuk)

•••

Pagi ini, pukul delapan lebih sekian, akan dilangsungkan acara akad nikah. Suasana rumah sudah ramai dengan beberapa tamu dan sanak saudara, yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu demi lancarnya acara nanti. Sedangkan aku hanya diam di kamar ditemani Urbi. Bukan diam saja sebenarnya, tapi lebih tepatnya sedang didandani oleh tata rias.

Rasanya masih seperti mimpi saat aku melihat pantulan wajahku di cermin. Mengenakan gaun putih lengkap dengan hijab senada, juga polesan make up yang menghiasi wajah. Tak lupa, coretan henna putih di tangan kanan kiri juga.

Tak lama kemudian, Ibu masuk ke dalam kamar lalu duduk di samping Urbi. Aku melihat beliau juga tengah melihatku dari pantulan cermin. Ibu tersenyum hangat, aku melihat ada raut kebahagiaan yang terpancar. Namun, tak lama kemudian, Ibu menitikkan air mata yang membuatku sontak menoleh ke belakang, ke arah tempat di mana Ibu duduk.

Biasa tapi Rumit ✓Where stories live. Discover now