BTR 6 • Skenario-Nya

3.5K 523 63
                                    

“Rencana manusia tiada banding dengan rencana Tuhannya. Nyatanya, rencanaku hanya menjadi wacana, dan rencana-Nya lah yang menjadi akhirnya.”

~Ahmad Abrisam Al-Farizqi~

🍁🍁🍁

Gus Ahmad POV

Perjalanan dari pondok pesantren An-Nur menuju rumah, terasa begitu sangat jauh. Saat ini aku berada di mobil bersama Gus Adnan, sebenarnya aku bisa pulang sendiri, sebab sewaktu ke An-Nur dulu, aku membawa mobil sendiri, tapi Abah tidak mengizinkanku menyetir sendirian dan meminta untuk pulang bersama Gus Adnan. Alhasil mobilku harus menginap lebih lama di An-Nur.

Sepanjang perjalanan, aku hanya melamun memikirkan Zahra di sana. Sejujurnya aku telah berbohong padanya, jadwal wisudaku sebenarnya masih seminggu lagi, tapi aku memutuskan untuk pulang sekarang karena chat dari Ummah yang membuatku tertegun.

Tanpa musyawarah ataupun persetujuanku, tiba-tiba Ummah menyuruhku pulang untuk acara lamaran. Aku dijodohkan dengan Ning Ilma, cucu dari Kyai Hanan—Guru sekaligus pengasuh di pondok pesantren sewaktu Abah mondok dulu. Kalau sudah menjadi dawuh Abah dan Ummah, aku sebagai putranya bisa apa.

Berat di posisiku saat ini, di sisi lain aku menjaga hati untuk wanita yang namanya sudah lama telah menginap di hatiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berat di posisiku saat ini, di sisi lain aku menjaga hati untuk wanita yang namanya sudah lama telah menginap di hatiku. Tapi, di sisi lainnya, aku juga tidak ingin menjadi putra pembakang dengan tidak patuh atas apa yang telah didawuhkan orang tuanya.

Bukan perkara mudah memilih dua pilihan sulit dalam satu waktu. Di mana dua-duanya juga sangat berarti dalam hidupku.

Semenjak kejadian Zahra hilang di makam Ampel dua tahun silam, sejak saat itu pula hatiku tergelitik untuk mengenal lebih jauh tentang dirinya. Cinta tak butuh alasan bukan? Ya, itulah yang kurasakan saat pertama kali bertemu dengannya.

Sejak saat itu, diam-diam aku mencari tahu tentang Zahra ketika aku berkunjung ke pesantren pondok An-Nur. Beruntung aku selalu ada alasan jika pergi ke sana. Salah satu alasannya adalah, kangen dengan sepupu kecilku, Nazil dan Dhuha. Padahal nyatanya, aku bukan hanya rindu sepupu kecilku, tapi juga kekasih hatiku.

Hingga suatu saat ketika aku sudah menyelesaikan pendidikan S1 dan hanya menunggu jadwal wisuda, aku pun izin pada Abah dan Ummah untuk berkhidmat di pesantren An-Nur. Sekali menyelam, dua samudra kulampaui, selain berkesempatan berkhidmat aku juga berniat menyatakan perasaanku walaupun secara tidak langsung pada Zahra.

Di mataku, dia berbeda dengan santri lainnya. Dia memiliki senyum yang menenangkan, bola matanya indah, dan yang paling kukagumi adalah tutur bahasanya ketika berdialog denganku.

Saat aku memanggilnya, lalu dia menjawab, “Dalem.” is another level of happiness. Sesederhana itu. Satu lagi, sifat penyayangnya kepada anak kecil juga menjadi salah satu alasan mengapa aku bisa mantab dengan rasa yang kumiliki padanya.

Biasa tapi Rumit ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang