Part 11

1.1K 38 3
                                    

⚠️ WARNING ⚠️
21+

.

.

.

.

.

“Mai, mau kah kamu lepas dari semua ini?
Jika kau mau, ayo kita melarikan diri bersama?” Ucapnya.

“Hum, ayo.”

.

.

.

.

.

Begitulah awal mula cerita tentang kami berdua. Kuputuskan untuk pergi dari rumah ini, dan menuju entah kemana bersamanya. Kudengar dari ceritanya, ia adalah anak sebatangkara, kedua orangtua kandungnya telah tiada, dan malangnya setelah perceraian dan sepeninggal orangtuanya ia harus hidup secara mengenaskan bersama ibu tirinya. Hari pertama ia tinggal berdua bersama ibu tirinya, ia dibawa ke rumah bordil untuk dilelang keperawanannya. Tak hanya itu saja, ia seringkali disuruh melayani secara cuma-cuma jika tamunya adalah kenalan atau rekan baik dari ibu tirinya.

Ya, rumah bordil itu adalah bisnis mengerikan milik ibu tirinya. Dan ia menjadi korban atas ini semua. Kami berdua memiliki kesamaan, karena itulah kami saling mendukung satu sama lainnya. Setelah pernyataan itu, gadis itu juga kabur dari rumahnya, kami memutuskan untuk tinggal di panti asuhan untuk beberapa saat. Sampai akhirnya kami mulai bekerja sambilan di sebuah restoran, dan mampu membayar satu penginapan untuk tempat tinggal kami berdua.

Sejak itu aku tidak lagi mendengar desas desus bodoh tentang orang gila yang menganggap aku adalah anaknya setelah dia menjualku. Dan aku sangat bersyukur atas hal itu. Sekolah kami pun tidak terhambat, yang perlu kami lakukan hanyalah mengincar beasiswa. Aku yang mengincar beasiswa melalui kemampuanku dalam berorganisasi, dan dia yang mengincar beasiswa melalui kemampuan atletiknya. Kami berdua tetap melangkah maju bersama, hari-hari kami pun terasa indah.

Hingga pada suatu ketika ada anak laki-laki yang ia suka mengungkapkan perasaan padanya, gadis itu tampak bahagia menerimanya. Namun entah kenapa, jauh di dalam sana batinku menolaknya, menolak atas kebahagiaan mereka. Laki-laki itu telah merebut gadis itu dariku.

“Mai-chan, aku pergi dulu ya, hari ini dia mengajakku kencan, hihi... doa kan yang terbaik ya, bye-bye!” Pamitnya dengan ekspresi berseri.

“Hum, bye-bye.” Sahutku.

‘Tentu akan kudoakan yang terbaik, tapi jika itu adalah aku.’ Batinku.

Diam-diam aku pergi menguntit mereka, sampai aku tiba di sebuah tempat karaoke yang berada di area tersembunyi. Aku pun ikut masuk ke dalam dengan memberi jarak agar tidak ketahuan, kulihat mereka memesan ruang VIP. Aku menunggu mereka cukup lama, sesekali aku jalan kesana kemari untuk mencoba mendekati ruangan itu. Saat itu kulihat beberapa pria keluar dari ruangan yang sama, namun gadis itu tidak kunjung keluar juga, bahkan aku melihat pria yang disukainya berjalan santai sambil menyalakan rokok dengan sisa-sisa anggur merah yang tampak membasahi pakaiannya.

‘Mereka pasti minum-minum di dalam sana.’ Batinku.

Entah berapa lama waktu telah berlalu, kuyakin gadis itu masih berada di dalam sana, aku mengingat betul siapa saja orang yang masuk bersamanya. Hingga akhirnya sosok yang kutunggu membuka pintu, ia tampak menghapus sisa-sisa air matanya, berjalan lunglai seperti zombi. Aku bergegas keluar dari tempat ini, pulang melalui rute yang berbeda, sampai akhirnya aku tiba di tempat kami lebih dahulu.

Bad Story, Bad RomanceWhere stories live. Discover now