20 : Ayah Terbaik

Start from the beginning
                                    

"Jangan masuk."

"Ini ada apa, Al? Awas, aku mau ketemu Ayah. Kamu kenapa nggak angkat telepon? Kenapa nggak kabarin aku kalau kamu ke sini?"

"Soal itu aku minta maaf ...."

Aretha tidak peduli lagi, ia hanya ingin masuk ke rumahnya.

Tanpa menjelaskan apa pun Alden terus menghalangi Aretha untuk tidak masuk.

"Ini ada apa? Kamu bilang, dong. Jelasin semuanya. Ini kenapa banyak orang? Kenapa banyak polisi juga?"

Bibir Alden belum bisa menjelaskan apa pun.

Perhatian Aretha berpindah pada kerumunan orang yang berdiri di depan rumahnya. Beberapa reporter juga sudah berdatangan. Aretha semakin bingung dan kesal. Tidak ada satu pun orang yang mau memberi tahu. Ia pun menghampiri para tetangganya.

"Pergi semuanya, jangan berkerumun di rumah saya. Pergi!" Aretha mengusir semua tetangga.

"Pergi kalian! Nggak sopan gosip di sini. Pergi!" Belum pernah mereka melihat Aretha semarah ini. Beberapa orang memilih pergi, namun sebagian tetap ngeyel lantaran penasaran. Dimulai dari ibu-ibu dan bapak-bapak. Anak kecil pun turut menyaksikan.

"Pergi, pergi! Di sini nggak ada apa-apa! Pergi kalian!" Aretha tidak suka rumahnya menjadi pusat perhatian atau bahan perbincangan. "Pergi!"

Alden memegang tangan Aretha, Aretha berbalik, melepaskan tangannya kemudian melayangkan tamparan pipi Alden hingga pria itu membuang muka."Kamu juga! Jahat banget, sih! Masa aku nggak boleh masuk ke rumah aku sendiri? Aku mau ketemu Ayah. Nggak boleh, ya?" Aretha menyingkir dari hadapan Alden dan nekat masuk.

Tangan Aretha ditahan, ia berusaha menapisnya tapi setelah itu ia menghentikan diri begitu melihat sesuatu.

Aretha melihat jenazah yang sudah dibungkus dibawa keluar dari dalam rumahnya. Benaknya mulai bertanya-tanya. Ada dua kantung jenazah yang polisi keluarkan.

Siapa mereka?

"Itu siapa?"

Alden meneguk saliva.

"Maling, ya?" Melepas secara paksa pegangan tangan Alden, Aretha berlari ke teras rumah, hendak masuk tapi seorang polisi menghalanginya.

"Ayah mana? Mobilnya ada di sini. Berarti Ayah ada di dalam. Tapi kenapa Ayah nggak jagain rumah? Ada maling, kan? Ayah!! Kenapa Ayah biarin maling masuk ke rumah kita? Ayaaah!" panggil Aretha berteriak di lawang pintu, berharap ayahnya segera keluar dan menjelaskan apa yang terjadi. Sedangkan yang lain hanya diam melihat Aretha yang mulai frustrasi. "Ayah kalau ada maling nggak perlu panggil polisi segala! Ayah! Denger aku, nggak?! Ayah ...! Ayah!"

Tidak bisa lagi membiarkan, Alden segera menghampiri Aretha dan memintanya untuk berhenti. Tapi Aretha berontak, Alden memaksanya untuk melihat ke arahnya hingga akhirnya Aretha bersedia. Mata Aretha mulai memerah, sepertinya ia mulai mengerti apa yang sedang terjadi.

Aretha menatap Alden penuh pertanyaan, yang ditatap balas menatap sambil memegang dua bahu kencang-kencang, seakan memberi tahu bahwa ia harus sadar sesadar sadarnya tentang apa yang sedang terjadi.

Kamu harus kuat. Kamu pasti bisa.

Alden melirik polisi, memberi isyarat untuk membuka kantung jenazah sekarang.

Mau tidak mau, Aretha pun melihat kantung jenazah di hadapannya. Tangan polisi mulai menarik resletingnya, Aretha menahan napas seiring dibukanya resleting hingga sosok berwajah kaku terpampang di matanya. Alden yang berdiri di belakangnya memejamkan mata.

Belum ada reaksi apa pun dari Aretha selain matanya yang terus menatap wajah sang ayah yang sudah tidak ditemui tanda-tanda kehidupan atau sekadar adanya pernapasan di dada. Dua mata tertutup seperti sedang tidur.

HEART BEAT √Where stories live. Discover now