#38 Akhirnya Terucap

Start from the beginning
                                    

"Iya."

"Gambar lo rapi. Kenapa nggak ngerjain di galeri atau kantin?"

Pipinya kontan merona. Ini kedua kalinya Vanta menerima pujian dari orang tak terduga. Yang pertama dari Alvin ketika mereka ke Taman Hiburan.

"Mm... lagi nggak nyaman di sana."

"Avoid somebody, hm?" tebak Toto sambil mengetik.

"Ah... itu..." Vanta heran, cowok ini selalu bisa menebak dengan tepat. Dia memang sedang menghindari seseorang. Dan jelas, orang itu tak lain adalah teman cowok ini. Apa Toto sejenis cenayang?

Tidak lama kemudian terdengar suara beberapa orang mengobrol dari luar. Disusul pintu kelas yang terbuka. Toto mengangkat kepala, tersenyum miring.

"Kayaknya lo salah pilih tempat." Dengan gaya tenangnya seperti biasa, dia berucap. Nada yang sedikit membingungkan, tapi kok terdengar menyebalkan di telinga Vanta. Fix, dia memang teman Alvin.

"Hm?" Vanta mengangkat kepala sedikit, menoleh menatapnya tidak mengerti.

Lalu mengikuti arah pandang cowok cool di sebelahnya. Saat itulah dia membelalak kaget menjatuhan pensil. Satu hal paling krusial yang dilupakannya.

Orang yang sedang ingin dihindarinya menangkap sosoknya. Menatap lurus ke arahnya dan Toto bergantian sebelum berjalan ke mejanya. Menarik bangku tepat di sebelah Vanta setelah memungut pensil yang terjatuh. Jadilah ia pusat perhatian lagi. Karena saat ini, dia tengah diapit oleh dua cowok yang masuk kategori 'most wanted guy' di kampus.

"Ngapain lo di sini?" Bahkan, hanya mendengar suaranya saja sukses menciptakan gemuruh di dada. Membuat Vanta terperanjat berdiri dari kursi.

Celaka.

Dia benar-benar lupa kalau Toto dan Alvin seangkatan bahkan satu penjurusan. Tentu saja ada kemungkinan kelas mereka sama. Bukan selamat, dia malah masuk perangkapnya sendiri.

Ta, Ta... Pinter amat sih lo. Niat menghindari singa, malah kabur ke kandangnya.

Alvin menarik pergelangan tangannya sekilas. Mengisyaratkan agar Vanta kembali duduk. Wajah dan seluruh tubuhnya mendadak panas. Tidak betah.

"Jadi, kenapa lo bisa masuk sini? Nggak mungkin nyari gue kan?" tanya cowok itu, duduk bersandar di bangku. Tangannya sudah melepas pergelangan Vanta. Mulutnya setia mengunyah permen karet seperti biasa.

"Mm... cuma numpang nugas." Rasanya dia tidak kuat meski hanya duduk bersebelahan. Segera Vanta membuang muka. Berusaha menyibukkan diri.

Dari ekor mata bisa dilihatnya Alvin mengubah posisi. Duduk menopang wajah, menatapnya terus menerus. Seperti ada api yang terpancar dari mata cowok itu, bikin gerah.

"Kenapa lo ngeliatinnya gitu?" Sudut bibir Vanta menukik turun.

"Masih pingin nanya. Tapi nanti aja omonginnya. Lo lanjutin dulu tugas lo."

Dan, tiga puluh menit berada dalam kelas itu terasa seperti selamanya.

***

Gara-gara salah pilih tempat bersembunyi, Vanta jadi harus terjebak di situasi yang pelik. Bayangkan saja, setelah kelas Penulisan selesai, Alvin malah ikut masuk ke kelasnya. Sekalian pulang, begitu alasannya. Tapi jantung Vanta sama sekali tidak bisa diajak kompromi setiap dekat cowok itu. Ditambah sekarang, mereka harus terjebak di depan sebuah ruko karena hujan turun. Tidak ada yang terpikr untuk membawa jas hujan.

"Kayaknya gue kurang beruntung. Pertama kali ke kampus naik motor langsung kena hujan," ujar cowok itu melepas helm. Sementara Vanta sudah lebih dulu melepasnya.

"Lagian gue bilang kan nggak usah jemput."

Di kelilingi pemandangan yang tertutup lebatnya hujan, hawa dingin menyelimuti mereka yang kebasahan. Berdiri bersisian di selasar ruko tak berpenghuni.

"Kenapa?" tiba-tiba Alvin bertanya tanpa subjek predikat objek.

Vanta yang saat itu sedang menengadahkan tangan merasakan tetes air dari langit menoleh singkat. "Kenapa apa?"

"Kenapa lo nggak mau gue jemput?"

" ... Repot kan, kalo lo harus bolak balik. Gue pikir lebih baik berangkat masing-masing aja kayak sebelumnya."

"Gue nggak merasa repot."

"Ohh..." Hanya itu jawaban Vanta.

"Kok tadi lo bisa ada di kelas Penulisan bareng Toto?"

"Mm... itu kebetulan ketemu. Gue butuh tempat buat ngerjain tugas."

"Lo kan bisa chat gue kalo mau nugas. Sejak kapan lo akrab sama dia?" Banyak sekali pertanyaan cowok itu, nggak seperti biasanya.

"Nggak sih, tapi dia kan temen lo," Alasan ini memang benar. Vanta mungkin nggak merasa asing dengan Toto karena sudah tahu cowok itu teman Alvin sejak sekolah.

Alvin malah menutupi wajahnya sendiri dengan sebelah tangan. Mendengkus pelan. "Ah, sial. Gue jealous."

"Apa?" Suara berisik air yang terus turun dari langit membuat Vanta tak begitu mendengar gumaman pemuda di sebelahnya.

"Kenapa seharian ini lo hindarin gue? Bikin kesel tau nggak?"

"Ini kan gue sebelah lo," Satu kaki Vanta sibuk berayun, sesekali menghentak-hentak lantai pelan. Bermain-main di bawah.

"Iya, tapi buang muka terus. Lo pikir gue nggak sadar?"

Alvin menarik satu tangan gadis itu agar menghadap ke arahnya. Nyatanya, Vanta masih tetap berusaha mengalihkan pandangan. "Coba jawab, kenapa? Ada masalah apa sama gue?"

"Nggak ada."

"Jangan bohong. Kita selesain sekarang."

"Nggak ada apa-apa!" Vanta mendadak berseru karena panik. Tangannya yang berada dalam genggaman Alvin meronta, ingin meloloskan diri. Tetapi cowok itu semakin mengeratkan jari-jarinya.

"Buktinya sekarang lo nggak mau liat gue."

"Gue cuma ..." Suara Vanta mendadak berubah pelan.

"Cuma apa?"

"Ng-nggak tau."

Sebelah alis Alvin terangkat. "Nggak tau?" Cowok itu mengulang kalimatnya dengan pertanyaan. Di balas anggukkan oleh Vanta. "Kok bisa nggak tau?"

"Ish! Orang nggak tau, ya nggak tau. Masih aja nanya!"

"Sini liat gue."

"Nggak bisaaa!" rengek Vanta emosi. Didesak begitu bikin dia semakin ingin menjauh.

Sementara Alvin terus memerhatikan dia yang menunduk dalam. Rona merah menghias kedua pipi gadis itu. Terjawab sudah pertanyaannya sejak tadi. Alasan mengapa Vanta terus menghindarinya seharian di kampus. Dia jelas melihat saat cewek itu berbalik pergi tiap kali mereka hampir berpapasan.

Mungkin upayanya telah membuahkan kemajuan yang berarti. Bukan lagi brotherzone atau friendzone yang dirasakan cewek itu. Alvin tersenyum miring waktu sadar sinyal-sinyal yang dikirimkannya sudah tertangkap dengan baik.

Wajah Vanta yang kian tersipu terlihat sangat menggemaskan di matanya. Dia pun tak bisa membendung pusaran perasaannya lagi.

"Lo udah pikirin saran gue waktu itu?" tanya Alvin masih setia menatapnya.

"Saran yang mana?"

"Buat coba move on."

Ketegangan yangdirasakan Vanta sedikit memudar berganti heran. "Itu kan baru berapa hari lalu. Kenapa emang?"

"Soalnya gue mau tancap gas,"

"Hm? Maksudnya?"

Lalu, kata-kata itu pun meluncur mulus begitu saja dari bibir Alvin. Di waktu dan tempat yang tak terduga. "Jadi pacar gue ya,"

Dalam sekejap, bola mata indah mengilap gadis itu membelalak. Dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang didengarnya barusan.

=======================

Yang ditembak siapa, yang tahan napas siapa.

Akhirnya kode-kodean Alvin nggak sia-sia ya :'D

LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Where stories live. Discover now