Bertemu dengan papanya membuat mood Ferdi benar-benar buruk, dia memilih untuk membolos pelajaran dan memilih untuk menuju rooftop.

Saat dia sampai di rooftop, dia melihat ada seorang lelaki yang tengah telentang dan sesekali tersenyum. Ferdi tahu dia siapa, kemudian Ferdi melangkah mendekat ke lelaki tersebut.

“Woyy.” Lelaki yang sedang terbaring itu sedikit terkejut kemudian merubah posisinya untuk duduk dan menatap Ferdi.

“Oii, oii. Ada angin apaan nih? Tumben banget bolos, kesambet apaan lo?” Ferdi hanya tersenyum mendengar itu, lalu memposisikan duduk di samping lelaki itu.

“Bokap gue,” sahut Ferdi singkat. Devin-lelaki itu mengangguk paham.

“Enak nggak sih, diperhatiin gitu sama orang tua? Gue nggak pernah tuh diperhatiin gitu, boro-boro disuruh peringkat satu, disuruh masuk sekolah aja nggak pernah. Kayak nggak punya orang tua gue.” Ferdi langsung menepuk pundak sahabatnya itu, dia paham apa yang dikatakan oleh Devin.

“Ada enaknya ada enggaknya sih, nggak enaknya diatur-atur gitu. Apalagi lo tau kan, kalo bokap gue selalu nuntut gue jadi yang pertama. Bosen gue, dituntut terus. Pengin bebas, ini kan hidup gue. Bukannya, gue bebas menentukan hal yang gue bisa? Kalo gue nggak bisa jadi yang pertama di bidang pelajaran, mungkin gue punya bakat di bidang lain kan?”

“Sayangnya nggak ada Fer.” Ferdi langsung menatap datar Devin, dan Devin langsung tertawa. Kemudian, sepi menyelimuti mereka berdua sampai Ferdi kembali membuka suaranya.

“Btw, lo sama Leta gimana?” Devin menautkan alisnya mencoba berpikir. Dia pun juga bingung hubungannya dengan Leta sudah sampai mana, dan akhirnya Devin hanya mengedikkan bahunya.

“Vin, lo orangnya emang nggak bisa jujur yah.” Devin mengerutkan keningnya.

“Maksud lo?”

“Lo suka sama Leta, kan?” Devin tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar itu, secepat kemudian menoleh ke arah Ferdi.

“Ngigau lo?”

Ferdi tergelak. “Enggak, gue bener-bener sadar ngomong ini. Lo suka sama Leta.”

Devin diam. Leta terlalu sulit untuk ditebak. Terlalu sulit untuk disangka, seperti ada sesuatu di hidup cewek itu yang tidak Devin ketahui. Devin tidak pernah mengejar seorang cewek sebelumnya, dan kepribadian Leta membuatnya kesulitan. Tiba-tiba saja bayangan Leta muncul di pikirannya, bagaimana saat cewek itu tersenyum, mengomel saat dirinya berbuat jahil.

Buru-buru Devin menggelengkan kepalanya. Sialan! Kenapa memikirkan Leta terasa menyenangkan seperti ini.

“Bukan gue yang suka. Tapi Leta duluan yang suka sama gue.” Ferdi mengangguk, tersenyum devil.

“Emang dia udah bilang suka sama lo?” Devin langsung tergelak mendengar itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa, Leta memang belum bilang suka padanya tapi dia yakin jika sebentar lagi Leta akan mengatakan itu pada dirinya.

“Bentar lagi.”

“Vin, kayaknya bakal lebih menarik kalo setelah Leta bilang suka sama lo, lo langsung tinggalin dia detik itu juga.”

Devin menatap ragu pada Ferdi. Ada rasa khawatir yang hinggap di dadanya. Mengapa seperti itu? Bukankah sudah seharusnya seperti itu, setelah Leta menyatakan perasaannya, Devin harus meninggalkan cewek itu. Karena memang seperti itulah taruhan yang sudah di janjikan.

“Liat? Lo ragu kan. Gue sahabat lo, gue tau apa yang lo rasain, Vin. Gue liat cara lo natap Leta. Jujur sama diri sendiri apa salahnya sih, Vin.”

Devin menatap Ferdi. “Gue nggak paham.”

“Lo suka sama Leta! Awalnya emang taruhan, tapi lo terlalu mendalami peran, Vin. Sekarang jadi kebalik, bukan Leta yang suka tapi lo yang suka sama dia.”

“Sadar nggak sih lo. Mulai sejak lo nyuruh Koko buat ngajak Leta saat kita main basket, nyuruh Koko buat bantuin lo nyiapin kejutan buat Leta,” ujar Ferdi.

“Lo pikir gue nggak heran, orang kayak lo ngelakuin hal repot kayak gitu cuma karena pengin menang taruhan.” Ferdi menepuk pundak Devin.

Devin menyukai Leta? Tidak mungkin!

“Vin, gue nggak perlu motor baru. Yang gue pengin, lo jujur sama perasaan lo sendiri.” Devin melepaskan tangan kekar milik Ferdi yang berada di pundaknya.

“Lo tadi mancing gue?” Ferdi langsung memamerkan deretan giginya yang rapih.

“Jangan sampai lo kehilangan orang yang berarti di hidup lo Vin, dan jangan sampai buat Leta sedih lagi.” Devin memperhatikan setiap ucapan yang dilontarkan oleh sahabatnya itu.

“Cukup karena gue, gue yang udah buat dia kehilangan orang yang berarti di hidupnya,” ucap Ferdi menatap kosong ke arah depan.

“Maksud lo?”

Ferdi menarik sudut bibirnya. “Enggak, gue cuma ngigau.”

“Pikirin perasaan lo baik-baik, gue balik kelas dulu,” ucap Ferdi menepuk punggung Devin, kemudian berjalan meninggalkan lelaki itu sendiri.

Sementara Devin, dia masih memikirkan apa yang baru saja diucapkan oleh sahabatnya sendiri.

Devin merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan sebuah foto yang sudah dicetak memperlihatkan seorang perempuan yang tengah tersenyum dikelilingi oleh banyak anak kecil. Melihat foto itu, membuat Devin ikut tersenyum.

“Gue nggak mungkin suka sama lo kan, Ta?”















Tbc...

NERDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang