Nerd | 11

58.5K 6.7K 385
                                    

Leta melangkah masuk ke dalam kelasnya, suasana kelas sedikit aneh. Semua temannya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, Leta mendekat ke arah Sherin.“Rin, ada apa? Kenapa suasana kelas jadi gini?” tanya Leta.

Sherin menatap ragu pada Leta. “Tadi Devin ngamuk di kelas.” Kening Leta langsung menyatu mendengar kalimat itu keluar dari mulut Sherin.

“Ngamuk kenapa?”

“Dia marah karena Citra sama Lisa gangguin lo, dia ngancam semua orang kelas agar nggak ganggu lo lagi. Kalo ada yang berani ganggu lo, orang itu bakal berurusan langsung sama Devin.” Leta menganga, jadi cowok itu sudah tahu yang membuatnya seperti ini? Dan karena alasan itu, Devin mengamuk?

“Lo ada hubungan apa sama Devin?”

Leta langsung menggelengkan kepala cepat. "Nggak ada hubungan apa-apa kok." Memang faktanya seperti itu kan, dia tidak ada hubungan apa-apa dengan Devin. Tapi kenapa lelaki itu bersikap sedikit berlebihan seperti ini?

Citra memandang sengit ke arah Leta, kemudian mendekat. “Lo, benar-benar harus dimusnakan dari dunia ini,” bisik Citra tepat di telinga Leta. Kemudian gadis itu pergi dengan menubruk bahu Leta kasar.

“Dimusnahkan? Seperti lo memusnahkan dia?” gumam Leta.

Sherin sedikit mendengar gumaman Leta nampak bingung. “Lo ngomong apa, Ta?”

“Bukan apa-apa kok, hehe.” Sherin menganggukan kepala. 

“Ta, sumpah yah, Devin kalo ngamuk tuh nyeremin banget. Lihat, papan tulis aja sampe jebol ditonjok sama dia.” Sherin bergidik ngeri.

Leta melihat papan tulis di depan kelasnya, dia meringis melihat papan tulis yang sudah jebol. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelasnya dan tidak menemukan keberadaan lelaki bernama Devin. Kemana lelaki itu pergi?

“Terus, sekarang Devin ke mana?”

Sherin nampak berpikir. “Nggak tau, tadi setelah ngamuk dia langsung pergi dari sini.” Leta hanya mengangguk, kemudian entah karena alasan apa dia memeluk Sherin.

Entahlah, Leta merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan gadis itu, Sherin sangat baik padanya. Mungkin dia bisa menganggap Sherin sebagai Ara, karena keduanya sedikit memiliki sifat yang sama.

“Kenapa tiba-tiba meluk gue, Ta?”

“Kamu orang yang sangat baik Rin.” Tubuh Sherin sedikit menegang, sedetik kemudian langsung tersenyum menanggapi Leta.

***

Devin melangkah santai melewati koridor, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celananya, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang sok keren, dan sesekali bersiul.

Entah apa yang ada di pikiran cowok itu, bel masuk telah berbunyi beberapa saat yang lalu tapi dia malah asyik berjalan-jalan tak menentu. Kakinya terhenti di depan kelas XI IPA 2, ide jahil mulai merajai otaknya.

“Woyy, Koko anaknya Pak Vernan, kantin kuyy!!” teriak Devin sembari membuka pintu kelas XI IPA 2, seluruh murid di kelas itu langsung menatap ke arahnya. Guru yang mengajarpun menatap horor ke arah Devin.

“Kamu siapa? Kenapa ada di kelas saya?” tanya guru wanita yang terlihat lebih muda dari kebanyakan guru lainnya.

“Ekhem, perkenalkan Bu, nama saya Devin Alghamare. Biasa dipanggil Devin, kalo Ibu mau manggil sayang juga nggak papa,” ucap Devin mengulurkan tangannya ke arah guru itu.

“Jadi kamu yang namanya Devin, murid yang bandel itu yah? Yang sering keluar masuk BK kan? Ngapain kamu ke kelas saya? Kelasmu bukan di sini, apa kamu lupa jalan menuju kelasmu?” Devin meringis, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Iya Bu, saya tiba-tiba lupa jalan menuju kelas saya. Entah kenapa hati saya seolah merasa terpanggil ke kelas ini, dan sekarang saya tahu alasan saya bisa sampai di kelas ini.” Guru muda itu menatap Devin seolah menyuruh cowok itu untuk melanjutkan ucapannya.

“Karena di sini ada bidadari, dan karena itulah saya terpanggil ke sini, seolah ada magnet yang membuat kaki saya melangkah dengan sendirinya ke sini. Dan, bidadari itu sekarang berdiri di hadapan saya.” Guru muda itu sedikit bersemu, bisa-bisanya dirinya tersipu mendengar gombalan dari muridnya sendiri. Seluruh kelas langsung heboh dengan gombalan garing yang dilontarkan oleh Devin. 

“Baper yah, Bu? Tapi maaf, saya hanya bercanda. Tujuan saya sebenarnya ke sini itu buat jemput teman saya yang duduk di sana,” ucap Devin menunjuk bangku yang ditempati Adriel. Adriel langsung menatap tajam ke arah Devin. Devin yang melihat raut wajah sahabatnya yang konyol itu sedikit tertawa.

“Pelajaran yang bisa diambil hari ini, jangan mudah baper sama gombalan cowok, Bu. Kebanyakan cowok itu buaya, kayak saya ini. Tapi saya beda dari cowok buaya di luar sana lho, kalo cowok di luar sana itu wajahnya di bawah rata-rata, kalo saya itu wajahnya udah mirip kayak pangeran. Satu lagi, sebenarnya Ibu itu nggak lebih cantik dari gebetan saya.” Devin menepuk pelan pundak guru itu. Lagi, seluruh murid di kelas itu tertawa melihat gurunya dikerjai habis-habisan oleh Devin.   

Kemudian Devin melangkah santai ke arah Adriel, lalu menyuruh cowok untuk berdiri. Kemudian Devin menggiring Adriel ke depan kelas. Tingkah Devin tak luput dari pandangan guru muda itu.

“Bu, saya pinjem muridnya bentar yah, tenang aja nanti dikembaliin lagi kok.” Devin mengedipkan sebelah matanya. Guru muda itu nampak geram dengan tingkah Devin.

“Adriel, Devin! Kalian berdua, keluar dari kelas saya sekarang juga! Jangan sampai saya melihat kalian berdua hari ini!” Tepat pada sasaran, inilah yang Devin harapkan dari tadi.

Melihat guru itu berteriak dan menyuruhnya keluar dari kelas. Menurutnya, ini adalah hal yang sangat menghibur bagi dirinya. Dengan santai Devin melangkah keluar diikuti Adriel yang di belakangnya.

“Vin, lo apa-apaan, sih?!” Devin menghentikan langkahnya, menoleh ke arah sahabatnya.

“Kenapa? Gue nyelametin lo tadi lho. Gue tau, lo bosen kan di kelas? Tadi aja udah kayak mau merem gitu.” Adriel menatap tajam pada Devin, sedetik kemudian langsung tersenyum dan memeluk leher Devin.

“Lo emang sahabat gue yang ter-the best pokoknya deh, gue bangga sama lo.” Lalu keduanya tertawa.

“Sekarang kita ke mana?” Kedua cowok itu saling menatap, detik berikutnya mengangguk sembari tersenyum. Seolah mereka tahu pikiran masing-masing.

“Siapa kita?” teriak Devin.

“Penggemar nomor satu ciloknya Mang Udin!” sahut Adriel dengan nada yang tinggi.

“Siapa kita?” 

“Penggemar nomor satu ciloknya Mang Udin!”

Teriakan itu terus berlanjut mengiringi langkah keduanya menuju kantin, teriakan mereka berdua sangat menggema di koridor. Semua orang yang tengah mengikuti pelajaran di dalam kelasnya masing-masing menggelengkan kepalanya, sudah tidak heran mendengar teriakan dari kedua manusia absurd itu.














Tbc...

NERDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang