37. A Doubt

74 6 4
                                    


"Heh Wil, Daf ayo serius dong latihannya, jangan dikit-dikit berhenti terus berdua-duaan nyolong-nyolong makan jajan."

"Apa udahan aja nih?" sambungnya.

Mendapat teguran dari Sandi membuat Daffa yang sedang memakan jajan bersama Willy kembali ketempatnya semula yaitu dibalik drum.

"Iya.. Iya.. Bang. Jangan serius-serius napa, mana muka lu nyeremin kaya beruang hutan." ucapnya sembari berjalan.

"Cicilan rumah lo nunggak lagi apa San? Apa lagi pusing mikirin uang masuk TK yang kaya harga vespa?" tanya Jevan ketika mendapati leader bandnya itu tak seperti biasanya.

"Enak aja, gue beli apa-apa selalu cash ya, gak pernah nyicil."

"By the way deadline kita buat setoran lagu kapan ya?" tanya Brian.

Willy yang sedang mengutak atik laptopnya menjawab, "Harusnya akhir bulan? Dua minggu lagi? Kenapa Bang?"

"Gue masih ada cadangan lagu lagi, mau gue kirimin ke Alex. Kalian ada simpenan lagu lagi gak? Biar sekalian."

"Gue ada sih, tapi gue gak yakin." gumam Sandi.

"Gak yakin kenapa?"

"Kayanya terlalu sedih, gak pas sama konsep yang diminta."

"Alah gas aja napa Bang, kalo ditolak ya ntar disimpen lagi." cetus Daffa dengan entengnya.

Sandi mengambil ponselnya. Membuka notes lalu memberikannya kepada Brian sang ahli lirik di Day6.

"Puitis banget pemilihan kata lo." ujar lelaki yang sedang duduk bersilang kaki sembari memangku bassnya itu.

"Bacain coba Bri." pinta Jevan.

"Kau seperti bulan yang bersinar di tengah gelapnya langit malam. Tetapi perlahan cahaya mu menghilang karena kegelapan ku. Ketika kau melihat dan tersenyum kepada ku, disitu aku tersadar bahwa aku tak kan bisa membuat mu bahagia seperti saat sebelum kau bertamu dengan ku."

"Beuh... Mantap!" Daffa menyambutnya dengan tepuk tangan, "Ntar kalo jadi lagu tinggal tambah tenong nenong nenong nenong di awal lagunya biar makin dramatis."

"Pengalaman pribadi Bang?" sindir Willy.

Jevan terkejut, "Serius lo?!"

"Gue rasa sih gitu ya... Sandi mana bisa bikin lagu cuma modal fantasi doang." cetus Brian.

"Anjir diem aja jawab gue sat!" Jevan mendorong tubuh Sandi.

"Kinda?"

"Kinda, kinda. Gue gak bisa bahasa inggris Bang. Ayo klarifikasi." cerca Daffa penasaran.

Jevan kemudian teringat akan sesuatu, "Bentar, cewek di hidupnya Sandi sekarang cuma Disha yang tukang kue itu kan?"

"Sama Mila sama Tante Erlin, sama Mbak Gemma juga ya. Parah si Bang Jevan gak nganggep yang lain." sela Daffa.

Tentu saja tingkah Daffa membuat Jevan geregetan dibuatnya, "Kalo yang itu mah beda sat! Kan mereka mau gak mau udah jadi keluarga. Gue timpuk Marshall juga ni bocah."

Hampir saja Jevan benar-benar ingin melempar Daffa dengan kotak soundsystem yang ada di studio.

"Cerita lah San, kebiasaan dipendem mulu kalo punya cerita. Tell us coba, mana tau gue sebagai pakar cinta bisa membantu lo." bujuk Brian dengan di bumbui kesombongannya.

"Pakar cinta apaan." ejek Willy dengan muka acuhnya, "Yang ada lo itu cuma pakar CCT Bang."

"CCT apaan?"

"Celap Celup Tinggal."

"Anjing! Gue gak sejahat itu ya!" Brian di buat tak terima dengan omongkan Willy walau jika dipikir-pikir ada benarnya juga.

Jevan ikut meledek, "Tapi kenyataan kan?"

"Ayo San ceritain, lo gamau kan temen-temen lo mati penasaran ini." sambungnya.

"Ya gimana ya, gue makin kesini makin gak yakin."

Willy yang sedari tadi menopang dagunya bertanya-tanya, "Gak yakin kenapa?"

"Disha masa depannya masih panjang, gue kayaknya gak pantes buat dia. Dia harus bahagia."

"Lah emang selama ini dia gak bahagia? Terus kalo misal bahagianya dia itu sama lo gimana? Lo juga bakal tetep pergi gitu?" Jevan seakan tak terima dengan jawaban Sandi.

Pria melas itu menaikkan kedua bahunya, "I don't know."

"Kalo dia gak bahagia or even dia tersiksa secara batin sama lo, pasti dia sekarang udah ngilang gak tau dimana." imbuh Brian.

"Bener tuh." Daffa ikut serta mengiyakan.

"Buktinya sekarang dia selalu ada kan? Gak cuma buat lo tapi juga buat anak-anak lo, in case kalo lo gak sadar ya selama ini." sindir Jevan.

Diikuti oleh Willy yang memanggut-mangkutkan kepalanya tanda setuju.

"Waktu anak-anak lo sakit yang pertama kali lo telepon siapa? Disha kan? Waktu dia pergi kkn kapan hari yang nyetok makanan bayi buat Mila sama Gian siapa? Ya dia juga kan? Yang tiap pagi nanyain lo ada makanan buat sarapan siapa? Dia kan?"

Jevan menyebutkan semua hal-hal yang mungkin tidak terfikirkan oleh Sandi selama ini.

"Lo kira selama ini dia kaya gitu cuma gara-gara dia baik doang gitu?"

"Kalo menurut insting gue, Disha itu tulus banget orangnya Bang. Makannya gue gak rewel kan dari pertama kali lo deket sama dia. Lah sekarang kok malah jadi lo nya yang rewel gini." ucap Daffa.

"Lo harus yakin dong San!" Briam memberi semangat kepada temannya itu.

"Laiya, dulu sama yang salah aja yakinnya setengah mati masa sekarang sama yang bener jadi melempem." tambahnya.

"Coba deh Bang lo tenangin diri dulu, refleksi, atau mungkin lo bisa ajak Disha buat tuker pikiran. Biar lo tau juga pandangannya dia gimana. Atau kalo lo mau beneran tau sifatnya coba ajak dia liburan sehari dua hari." usul Willy.

"Yoi, sabi tuh. Take it easy aja San." Jevan juga berusaha meyakinkan Sandi.

"Jangan cuma mikirin perasaannya Disha doang, tapi perasaan lo juga gak kalah pentingnya Bang."

Tiba-tiba terdengar suara pintu studio yang terbuka dan tentu saja percakapan mereka terhenti sejenak.

"Masih la-" ucapan Lia terpotong ketika dia melihat 'anak-anak asuhnya' yang sedang menjadi mode serius.

,"Lagi sidang meja bundar nih? Serius amat kayanya pembahasannya. By the way kalian udah selesai belom?"

"Eh Mbak Lia." sapa Brian.

Dengan kehadiran Lia di dalam studio membuat salah seorang dali lima lelaki itu menjadi salah tingkah, terlihat dari gerak gerik tubuhnya yang gelisah dan telinganya yang tiba-tiba berubah menjadi merah.

"Ya kalo dibilang selesai belum. Tapi kalo dibilang masih latihan juga engga." Jevan menjawab apa adanya.

"Oh... Kalo gitu shoot video greeting bentar buat konser di Bandung bisa?"

Sandi langsung mengiyakan permintaan manager mereka itu, "Bisa Mbak. Mau dimana?"

Lia melihat sekeliling. Lalu menunjuk sudut studio.

"Di situ aja kali ya."

"Alat-alatnya mau disingkirin dulu enggak Mbak?" tawar Jevan.

"Gak usah, shootnya cuma setengah badan doang kok."

"Oke, oke."

Member Day6 kemudian menuju sudut studio dan berdiri berjajar.

"Jev jangan merem."

"Mbak please, mata gue emang sipit. Ini udah full." Jevan lalu melebarkan kedua matanya dengan telunjuk dan ibu jarinya, "Mau gini?" godanya.

"Rapetan lagi berdirinya. Daf gak usah grogi. Santai aja, ini bukan video buat kampanye kok."

Lia lalu segera memposisikan dirinya untuk mengambil video dari ponselnya.

"Sandi senyum dong, kalo muka mu kusut gitu ntar gak ada yang beli tiket konsernya. Rugi bandar nanti."

How was the story guys?
Don't forget to vote and comment ya
See you on next chapter! ❤️

Get Into | DAY6Where stories live. Discover now