Sorry Kak Abyan, Mosa duluan… Mosa telaaaaat!” jeritku panik.

Menarik tanganku dari genggamannya dan melanjutkan menaiki tangga sambil berlari menuju kelas di ujung lorong sebelah kiri. Tidak aku perdulikan lagi bagaimana pendapat Kak Abyan atas kelakuanku yang terasa tidak sopan barusan.

Absen-ku di ujung tanduk aaaarrrggg!

Kalau jodoh nggak akan kemana, bukan?

Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga... Kamu di sana, aku di sini, bertemu kita di kursi pelaminan... Eaa.

Melangkah masuk ke kelas sambil mengatur napasku yang tersengal–senggal karena berlari. Melirik jam tanganku lagi, sudah lebih dari sepuluh menit dari jadwal tapi kursi dosen masih kosong. Apalagi teman–temanku asik ngobrol sendiri. Kalau tahu begini ngapain juga aku lari–lari. Sepertinya, Bu Tania lebih kesiangan daripada diriku.

Berjalan gontai guna menduduki kursi kosong di sebelah Nando. Ku sandarkan kepalaku di bahunya sambil menutup mataku sejenak. Berusaha mengembalikan detak jantungku yang tak normal akibat berlari. Perlahan napaskupun kembali teratur. 

Kurasakan elusan ringan di rambutku “Angkat tangan lo dari rambut gue!” ucapku pelan tanpa membuka mata.

Nando terkekeh tapi dia menghentikan aktivitas tanganya di rambutku “Mosa sayang, orang lain tuh senang kalau dielus–elus. Gini nih kalau naksir sama cewek yang nggak ada romantis-romantisnya… nasib… nasib.”

Mengabaikan ucapannya, aku malah memeluk legannya dan mencari posisi lebih nyaman untuk bersandar. Sumpah, aku butuh tempat beristirahat setelah sibuk lari–lari. Tenang, ini bukan modus tapi salahnya sendiri karena sekarang ada di sebelahku.

“Bu Tania mana sih? Dia telat atau malah kelasnya dibatalin? Lagian Adista kemana, tumben belum datang?” tanyaku beruntun walau masih dalam kondisi mata terpejam.

“Bu Tania nggak bisa ngajar, tapi ada tugas dan sekarang lagi diperbanyak sama Zakir. Kalau Adista tadi ke toilet,” jawab Nando tenang.

“Ooohhh.”

Suara kursi di geser di sebelah kananku tak membuat diriku membuka mataku. Bodo amatlah. Pokoknya aku butuh rehat sejenak. Capek lari-lari, aku kan bukan maling jadi tidak terbiasa berlari-lari.

Aaauuuuuwww” menjerit kecil saat kurasakan sentilan tak manusiawi pada dahiku disusul rasa panas dan sakit menyegat. Mataku otomatis terbuka dan memincing memandang Adista yang terlihat santai setelah melakukan penganiayaan padaku “Adista kampret! sakit tahu!” umpatku sambil mengelus dahiku pelan.

“Lagian lo dari tadi gue telepon nggak di angkat–angkat!" ujar Adista.

“Oh, lo yang telepon, gue kira tadi debt collector, berhubung gue ngerasa nggak punya utang jadi yaa nggak gue angkat. Lagian tadi gue terlalu sibuk lari–lari, mana sempat buat angkat telepon,” jawabku sewot.

“Kalau lo angkat telepon gue, lo nggak perlu lari–lari lagi, Mosa!”

“Ck, mana gue tahu itu telepon penting. Paling nggak gue dapat hikmah dari lari–lari tadi."

"Hikmah turun berat badan maksud lo?"

"Oh, tentu bukan. Lagian badan gue udah body goal gini. Olahraga itu buat sehat Dis, lurusin coba niat olahraga lo!" balasku sombong lalu senyumku mengembang "Tadi gue ketemu Kak Abyan. Senang banget gue! Aaaaaaa..." lanjutku sambil memegang kedua pipiku.

Namun tanganku terasa di tarik paksa oleh Nando dan kini kami berhadapan muka “Woi… siapa lagi Abyan–Abyan ini?”

Memutar bola mataku malas “Tungkang baso langganan Adista!” jawabku asal.

MIMOSAWhere stories live. Discover now