#33 Permintaan Sulit

Bắt đầu từ đầu
                                    

Hampir saja Vanta membanting ponselnya kalau dia tidak segera ingat ponsel itu masih baru. Ponsel yang dibeli susah payah dengan uang hasilnya bekerja setahun terakhir. Untung lunas.

Embusan napas berat lolos dari mulut mungilnya ketika dia tahu tidak berdaya. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menolak datang ke acara itu. Kalau sang raja sudah bertitah, ajudan tidak bisa membantah.

Dengan malas ia mengantongi ponselnya. Tapi saat tu juga, ponselnya bergetar lagi. Kali ini pesan masuk dari Jessi. Mengajaknya makan siang. Semangatnya hari ini sudah sangat menipis. Sebetulnya dia tidak ingin berhadapan dengan siapa-siapa dulu. Tapi sudah lama dia tidak meluangkan waktu untuk sahabatnya. Diputarlah langkahnya menuju kantin.

"Lo kenapa sih Ta? Ada masalah." Sepasang alis Jessi berkerut keriting melihat tingkah Vanta yang sejak masuk kantin mukanya sudah ditekuk. Bibirnya mencebik turun. Gerakannya lunglai tak bersemangat. Aura sekitarnya berlipat kali lebih suram.

"Jesss... gue kesel, tapi nggak bisa kesel."

"Hah?"

"Gue nggak mau pergi, tapi disuruh pergi."

"Apa sih? Coba cerita yang jelas. Nggak ngerti gue sama kode-kode lo."

Lagi-lagi Vanta mendesah. Menopang wajahnya dengan sebelah tangan.

"Berantem sama Alvin lagi?" Jessi lanjut bertanya.

Vanta menjawab dengan gelengan berat.

"Terus?"

"Kak Oka. Nyuruh gue dateng ke opening restoran keluarga mantan gue."

"What?! Lo punya mantan, Ta?"

Yang ditanya hanya mengangguk sekali. Lesu dan malas menyahut.

"Gue baru tau," tukas Jessi.

"Bukan itu fokusnya Jesslyn..." Ia merengek, greget pada respons temannya.

"Iya, iya... gue tau. Tapi ini berita kan gue baru denger, jadi masih ngerasa amazing. Gue mau kepo-kepo dulu boleh nggak?" Jessi menampilkan cengiran, sembari berkedip-kedip macam lampu hampir rusak.

"Nggak! Males gue bahasnya."

"Terus mau lo apa?"

"Temenin gue ke acara itu pokoknya. Gue nggak mau segitu ngenesnya datang ke acara itu sendirian."

"Loh, kakak lo ke mana?"

"Nggak bisa dateng, makanya nyuruh utusan."

"Dan utusannya elo." Jessi terkekeh meski tahu temannya sedang badmood berat. "Kapan?"

"Sabtu ini, sore."

"Oh sayangku, cintaku, Tata-ku. Mon maap nih ya. Tapi beneran, hari itu gue nggak bisa. Ada acara keluarga."

Vanta berdecak sebal. "Tega lo."

Disambut pelototan yang tidak kalah bete oleh Jessi. "Heh, Pepsi Blue." Mendadak dia jadi ikut memanggil Vanta dengan julukan yang diberikan Alvin cs.

"Lo sendiri, telepon gue tiba-tiba dimatiin waktu itu! Di kampus ilang melulu .Tambah lagi cerita yang belom gue denger soal Alvin. Utang lo ke gue udah numpuk tau!" Unek-unek dari gadis cantik itu menyembur keluar begitu saja.

"Ntar deh ceritanya soal Alvin. Kalo mood gue udah bener."

Keduanya terdiam. Hingga mendadak Jessi menjentikkan jari tepat di depan wajah Vanta sambil tersenyum lebar.

"Gue ada ide." Kedua alisnya terangkat tinggi. Senyum percaya diri seolah idenya paling brilian terpampang di wajahnya yang mulus terawat.

"Apa?" jawab Vanta masih menampilkan ekspresi malas.

"Bukannya lo sama Alvin jadi deket? Lo ajak aja dia. Siapa tau mau nemenin lo," Begitulah usul cerdas Jessi.

"Tapi itu kan malem minggu. Emang dia nggak ada acara? Nggak sama gebetan apa pacarnya apa temennya gitu?"

"Ya mana gue tau, oneng. Lo tanya dulu ke orangnya dong." Jessi meraih botol air mineralnya di meja sebelum menambahkan. "Lagian nih ya, kan udah gue bilang. Nggak ada sejarahnya dia punya pacar."

"Nggak ketauan aja kali."

"Nggak, emang nggak ada. Yakin gue. Kalo informasi satu ini pasti akurat."

"Jadi gimana?" tanya Vanta, merasa belum menemukan pencerahan.

"Lo tanya dia nanti, bisa nemenin lo apa nggak. Suatu kebanggaan bisa malem mingguan sama seleb kampus. Denger nih ya, kalo dia ikut, benefitnya buat lo bukan itu aja."

Gadis berambut ash brown itu mengangkat jari telunjuknya, melanjutkan tanpa ragu. "Satu, lo ada partner dan jadi nggak ngenes-ngenes amat di sana." Disusul jari tengah yang terangkat naik. "Dua, persiapan. Barangkali ada perang."

"Perang apaan?" Yang ini Vanta betul-betul nggak paham.

"Huusss, jangan dipotong dulu." Kemudian jari manis Jessi ikut naik. "Tiga, muka dia ganteng benget cuyy, nggak ada kurangnya. Gayanya oke. Bikin mantan meratapi nasib kalo ternyata gandengan lo yang baru lebih baik dari dia."

Belum tahu aja si Jessi. Kalau orang yang katanya seleb kampus, ganteng, dan nggak ada kurangnya ini beberapa hari lalu mengajak Vanta pergi main ke Taman Hiburan. Kalau dia tahu, bisa geger dunia persilatan.

"Eh, tapi..." Jessi lanjut berceletuk. "Mantan lo kayak apa? Lebih ganteng dari Alvin nggak?"

Vanta mengendikkan bahu. "Nggak tau."

"Ish!" Segera dia memukul lengan Vanta. "Masa nggak tau?? Liat fotonya,"

Vanta mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya. Memijat layar sentuh itu beberapa saat, mencari aplikasi media sosial. Tak lama dibaliknya layar ponsel ke arah Jessi. Cewek di depannya langsung memekik.

"Omaigad! Sialll, macho banget! Badannya itu loohhh... kriukkriuk nyess,"

Kalimat Jessi langsung mendapat sorotan mata aneh campur geli, tak lupa cibiran renyah dari Vanta. Yah, tapi... gimana nggak macho? Leo adalah pemain terbaik di tim basket SMA mereka dulu. Cowok itu menguasai hampir semua jenis olahraga, jelas badannya juga atletis.

"Tapi tetep... kalo lo berhasil bawa Alvin, gue jamin nggak bakalan nyesel," imbuh sang mahaguru.

"Oke, gue ikutin saran lo."

Sahabatnya langsung tersenyum manis sambil menepuk tangan sekali. "Good! Anak pinter...."

Begitulah awalnya,bagaimana bisa muncul gagasan untuk mengajak Alvin.


LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ