"Mau makan sekarang? Bunda siapin," ucap Bunda Riana.

Raka mengangguk, "Ayah mana, Bun?"

"Di kamar. Capek dia." Bunda Riana mengambil nasi dan menaruhnya di atas piring.

Raka menyipitkan mata. Menyadari hal itu Bunda jadi salah tingkah, "Kamu kenapa?"

"Bukannya Ayah gak kerja hari ini? Terus Ayah capek ngapain?" tanya Raka yang membuat pipi Bunda bersemu merah.

*****

Cherry menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Raka. Kakinya melangkah tak tentu arah menelusuri rumah mewah yang sekarang dipijaknya.

Tidak susah-susah amat berkunjung ke rumah cowok itu. Raka tetangganya sekarang, jarak rumahnya ke rumah Raka juga tidak sampai lima kilometer.

"Raka!" seru gadis itu.

"Raka! Aku udah sampai nih!"

Cherry berdecak kesal. Dia kembali mengotak-atik ponselnya lalu menempelkan benda pipih itu di telinga. Sudah tak terhitung berapa kali dia menghubungi Raka, namun cowok itu tak ada niatan sama sekali mengangkat teleponnya.

"Ish...! Mana sih dia?! Katanya suruh main, ini malah ngilang," gerutu gadis itu.

"Raka!"

"Rak——" belum selesai Cherry meneriakkan nama pacarnya satu pemandangan membungkamkan bibirnya.

"Eh ... ada kucing." Mata Cherry berbinar melihat kucing berwarna putih sedang berguling-guling di atas lantai.

"Mpus...!!!" panggilnya.

Kucing itu menoleh. Dia berlari menghampiri Cherry tanpa rasa takut. Bahkan dia juga tetap anteng saat Cherry mengangkatnya dan menggendongnya.

"Utututu... Lucu banget." Gadis itu menggaruk pipi kucing.

Hewan tersebut langsung mendengkur, merasa nyaman dalam gendongan Cherry.

"Eh ada tamu." Suara seorang wanita terdengar membuat Cherry seketika menoleh.

"Bunda?" Gadis itu tersenyum.

Dia menghampiri bunda Raka sambil menggendong kucing. Tak lupa dia menjabat tangannya dan mencium punggung tangannya sopan.

"Bunda, kucingnya lucu. Namanya siapa?"

Bunda Riana terkekeh, "Nggak Bunda kasih nama. Cherry aja deh yang kasih nama," katanya membelai rambut Cherry.

Senyum gadis itu merekah, "Serius, Bunda?"

Wanita paruh baya itu mengangguk mantap.

Cherry kembali menatap kucing putih itu, mengelus lembut bulunya seraya berpikir mau dia kasih nama apa. Namun ternyata pikirannya sedang buntu, dia belum menemukan nama yang cocok untuk kucing putih itu.

"Cherry pikir-pikir dulu deh, Bun."

Wanita paruh baya itu terkekeh sambil menggeleng. Beliau menghela napas, menatap Cherry penuh kagum.

"Sini, duduk dulu." Bunda Riana menuntun Cherry duduk di ruang tamu.

"Ini acaranya lagi mengunjungi siapa? Bunda, Om, atau Raka?" tanya wanita paruh baya itu sesaat setelah mereka berdua duduk.

Cherry meringis. Dia membelai bulu kucing tampak berpikir. Mau jujur kalau dirinya tengah mengunjungi Raka juga tidak enak, kalau bilang mengunjungi kedua orang tua cowok itu juga akan ketahuan bohong.

Karena sedari tadi Cherry sudah berteriak memanggil nama Raka.

"Cherry cari Raka, Bunda." Akhirnya mau tidak mau gadis itu mengakuinya.

"Sudah Bunda duga." Bunda Riana menutup mulutnya tertawa.

Cherry kembali meringis.

"Kamu yang sabar ya sayang hadapi Raka." Mata Bunda menatap Cherry teduh.

"Pasti, Bunda. Walaupun Raka suka nyebelin."

"Iya, nyebelin. Tapi gemesin juga, kan?" tebak Bunda.

Cherry memperbaiki posisi duduknya menghadap Bunda Riana, "Iya Bunda gemesin banget. Apalagi kalau ngambek, gak tau deh, tapi tampannya jadi tambah berkali-kali lipat."

"Jadi suka pingin gigit aku tuh," lanjut gadis itu.

Bunda Riana mengusap rambut Cherry, "Ada terselip pikiran ingin pergi gak?"

Cherry mengerutkan kening, "Kok Bunda tanya nya begitu?"

Wanita paruh baya itu menggeleng, menurunkan tangannya dari atas kepala Cherry, "Kamu tahu sendiri gimana sifat Raka. Siapa tahu kamu nyerah."

Cherry terkekeh, "Enggak lah, Bun. Cherry sayang kok sama Raka. Gak mungkin ninggalin Raka."

Bunda Riana menghela napas lega. Tak dapat dipungkiri sebagai seorang ibu tentu dia takut jika putranya akan sakit hati dan berantakan karena cinta.

Beliau tahu betapa cintanya Raka pada Cherry, oleh sebab itu beliau ingin memastikan kalau Cherry memiliki perasaan yang sama seperti putranya.

"Raka nya ada kan, Bunda?" tanya Cherry memecah keheningan.

Bunda Riana mengerjap, "Ada kok. Raka di kamarnya," kata wanita paruh baya itu mendongak ke atas. Menatap pintu kamar Raka yang sedikit terlihat dari lantai bawah.

Cherry ikut mendongak, melihat apa yang Bunda lihat.

"Tidur mungkin. Ketuk aja pintunya," katanya yang dibalas anggukan olah Cherry.

"Cherry ke atas dulu ya, Bunda."

"Ya sudah. Nanti kalau Raka apa-apain kamu jangan lupa lapor sama Bunda."

"Siap, Bun." Cherry beranjak pergi meninggalkan Bunda Riana.

Dia melangkah menaiki tangga, sesekali menunduk menatap kucing putih yang tidur lelap di gendongannya. Sangat lucu. Ingin rasanya Cherry memeluknya erat, tapi takut jika kucingnya mati kehabisan napas.

Sampai di depan pintu kamar Raka, Cherry tak langsung berteriak memanggil nama cowok itu atau mengetuk pintu, Cherry justru berdiam diri di depan pintu. Menatap stiker-stiker tulisan di sana sambil geleng-geleng kepala.

Bagaimana tidak? Tulisan di sana kebanyakan kata-kata tak pantas dan terkesan kasar. Cherry jadi heran, kenapa orang tua Raka tetap diam membiarkannya?

Tok... Tok... Tok...

"Raka!" teriak Cherry pada akhirnya.

"Rak—"

Ceklek!

Pintu terbuka. Sebuah tangan langsung menarik kasar Cherry hingga membuat gadis itu reflek menjerit.

Pintu kembali tertutup, seolah-olah puas setelah menelan Cherry. Namun ternyata tidak. Pintu itu kembali terbuka dan memuntahkan kucing putih yang dia anggap tidak penting.

___________________

Bersambung....

Kurang dari TigaWhere stories live. Discover now