Pertama tidak ada perlawanan, namun lama-kelamaan setelah mereka menyadari kalau Raka sudah keluar dari sekedar memberikan pelajaran, akhirnya mereka pun membalas perbuatan Raka juga.

"Raka!"

"Siapa pun. Tolong dong pisahin mereka!" Cherry sudah gigit jari bingung.

Dua cowok masuk ke dalam perkelahian. Yang satu menahan Raka, yang satunya mendorong delapan cowok itu agar menjauh dari Raka.

"Kalian lebih baik ngalah deh," kata Nalendra.

"Gak bisa! Temen lo yang mulai duluan."

"Lo yang mulai, bangsat!" bentak Raka mencoba menyingkirkan Abian namun gagal.

"Sabar, Ka. Sabar," ucap Abian.

Nalendra berdecak, "Bro, ini Raka. Lo pada gak akan aman kalau berurusan sama dia."

Sang ketua geng menatap Raka tajam, emosinya sudah di puncak namun apa yang dikatakan Nalendra benar adanya.

"Cabut!" perintahnya pada akhirnya.

Nalendra dan Abian menghela napas lega. Beruntung mereka mau menurut, kalau tidak urusan tersebut pasti sampai ke kantor BK.

Cherry berlari menghampiri Raka. Melihat hal tersebut cowok itu mendorong Abian menjauh lalu merengkuh Cherry posesif.

"Aku gakpapa, Ka," tukas Cherry.

Pandangan Raka beralih menatap dua temannya, "Kalian berdua boleh pergi."

*****

Nadia menatap pantulan dirinya di cermin. Tampak buram. Jelas saja, dia melepas kacamatanya.

Minusnya sudah bertambah tapi dia tak mampu membeli kacamata baru. Jadi dia pakai yang ada saja. Lagian sedikit-sedikit dia masih mampu melihat walaupun buram.

Gadis itu membasuh mukanya. Tak cukup satu kali dia membasuh lebih dari sepuluh kali.

Dia berharap perkataan cowok-cowok tadi enyah dari pikirannya. Rasanya sangat menyakitkan, bahkan perkataan mereka bisa dikategorikan sebagai pelecehan.

"Aku benci diri sendiri," katanya lalu kembali membasuh muka.

Bagaimana tidak benci? Dia sudah dijatuhkan sejatuh-jatuhnya dan dia hanya diam saja tanpa melawan. Setidaknya hanya sekedar menampar pun tidak. Bukankah dia layak membenci dirinya sendiri.

Nadia berdiri tegak, menghela napas dan mengusap sisa-sisa air di wajahnya.

Pandangannya beralih ke samping wastafel. Dia mengambil tisu basah yang tersedia di sana lalu menggosok rok abu-abunya dengan benda itu sebelum membuangnya di tempat sampah. Setelah itu dia kembali mengambilnya lagi dan melakukan hal yang sama.

"Tadi baksonya enak ya." Nadia tersenyum menatap noda bakso yang ada di roknya.

"Sayangnya cuman bisa makan dikit," lanjutnya mengangkat bahu.

"Gakpapa. Suatu saat aku pasti bisa beli bakso itu." Nadia mengangguk meyakinkan diri sendiri.

"Hiks...!" Gadis itu menutup mulutnya saat tanpa sadar mengeluarkan suara isakkan.

"Kamu gak boleh nangis. Nanti mereka tambah menjadi-jadi bully nya," kata Nadia menasehati diri sendiri.

Namun gagal. Dia menangis sejadi-jadinya, dihadapan bayangannya sendiri tanpa ada seorang pun yang menepuk pundaknya menguatkan.

"Berat banget, Tuhan." Gadis itu mencengkram pinggiran wastafel.

"Dih! Minta dikasihani kayaknya dia."

Kurang dari TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang