Kedua

941 68 2
                                    

Follow dulu authornya

arombai_

Spam komen juga boleh. Xixixi
Votenya jugaa yaa🌞biar makin mangattss authornya.

Hari ini ibu marah-marah. Bagaimana tidak? Beberapa barang yang ada di rumah menghilang begitu saja. Aku juga sedih, karena miniatur kapal itu, aku membelinya saat pergi ke pameran bersama ayah. Hanya itu satu-satunya barang yang membuatku terkesan saat melihatnya.

Tetapi, yang membuat ibu lebih marah seribu kali lipat, patung kayu itu juga menghilang! Katanya, benda itu membawa keberuntungan. Aku tidak tahu maksudnya, jadi, aku menenangkan ibu dengan menyuruhnya  membeli lagi nanti. Kan barang-barang seperti itu banyak sekali di toko aksesoris.

Apakah menenangkan orang sedih salah satu sikap baik? Aku hanya mencoba-coba melakukan perintah dari bu guru di sekolah.
Katanya, ibu satu-satunya keluargaku sekarang, jadi, aku akan menjadi pelindung ibu. Karena aku satu-satunya laki-laki di sini. Setelah berpikir sangat lama, memang benar, ayahku sudah tidak ada, aku juga tidak tahu seperti apa nenek dan kakek.

Mmmm ...
Kecuali, aku beberapa kali melihat nenek-nenek bau busuk dengan mata melotot di atas loteng dan pendopo.

                                 *****

Malam ini adalah malam terburuk kedua sejak terakhir aku berkunjung ke sana. Tempat itu semakin banyak rumputnya, bahkan, tadi aku tenggelam di antara ilalang. Dari jarak 3 meter, gubug itu juga tidak terlihat, karena banyak tumbuhan besar mengelilinginya. Ibu membabat ilalang itu, menyingkirkan jauh-jauh dari hadapan kami. Gelap sekali, teras gubug sudah roboh! Ibu berjalan cepat ke arah belakang rumah. Ia menggali sesuatu, aku tidak ingin melihatnya. Tangan mbak Dini kupegang semakin erat, saat melihat siluet bayangan masuk ke gubug melalui gawang yang sudah tidak ada pintunya.

Aku memejamkan mata sangat rapat sekali. Saat aku membuka mata, aku sudah melihat ibu duduk bersila di depan galian tadi. Apa yang terjadi? Apakah ibu menangis? Mulutnya terus berkomat-kamit. Suaranya mulai terdengar, meskipun sangat pelan, aku masih bisa mengetahui ibu berbicara apa. Seperti, menyebut-nyebut nama seseorang. Angin berembus sedikit lebih kencang, belakang leherku terasa dingin sekali. Pohon yang masih muda seperti merunduk ke kanan dan ke kiri mengikuti aba-aba angin. Mataku menyorot ke atas, bulan hanya terlihat ujungnya yang lancip, aku tahu! Itu pasti bulan sabit kan?

Grusakk ...

Ibu beranjak dari duduknya, lalu sigap berdiri di depanku, tangannya menghalau berusaha menutupi tubuhku dari seseorang.

"Itu bisalah, itung-itung tambahan jaminan,"

"Pergii!! Mereka akan datang melindungi kami, "  Suara ibu panik, nafasnya terdengar berat dan cepat. Aku tidak tahu, siapa lagi yang akan datang melindungi kami, seperti yang dikatakan ibu. Aku berusaha mengintip dari celah lengan, ternyata 2 orang lelaki bertubuh besar.

"Masih percaya sama setan-setan itu sampeyan,"
"Ayoo, seret langsung!" Salah satu memberi aba-aba.

Dua pria itu berjalan mendekat. Ibu melangkah mundur, lalu mengeluarkan sebuah pisau dari saku celananya. Ibu berlari kalang kabut saat satu pria nyaris mencengkeram lengannya. Sebelum ibu lari, ia memberikan pisau itu kepadaku secara diam-diam. Aku takut! Takut sekali.

"Lari," Bisik mbk Dini sambil menyeret tanganku. Aku berlari secepat yang kubisa. Ilalang dan tanaman merambat semakin menyusahkan. Suara daun kering semakin berisik. Aku sudah berlari lumayan jauh, sampai tidak terdengar suara ribut lagi.
Beberapa kali aku melewati pohon yang sama. Mungkin ini hanay perasaanku saja. Jadi, aku terus berlari secepat mungkin.

Aku berhenti setelah tanaman berduri menancap di telapak kaki. Aduh! Aku mencabutnya, tidak kurasakan lagi perihnya. Aku mengintip sedikit ke bawah sana, di telapak kaki ada beberapa goresan dan tusukan yang mengeluarkan darah. Aku tidak tahu sejak kapan sandalku terlepas. Rasa nyeri menjalar cepat saat aku melihat luka-luka itu.

Mbak Dini sudah tidak ada! Juga tidak ada lagi suara kaki menginjak daun kering. Aku berputar, melihat ke atas. Ranting pohon bergelantungan sampai menyentuh tanah. Apakah ini pohon beringin yang ada di dada burung garuda? Ah sudahla, ini bukan waktunya memikirkannya ini.

Aku berlari ke segala arah. Berputar-putar. Aku tidak tahu datang ke sini dari arah mana. Nafasku berat, aku tidak kuat lagi. Aku hanya ingin berlari dan berlari, keluar dari sini. Saat mencoba berhenti, rasanya seperti ada banyak sekali orang yang mengawasiku. Tuhan, tolong aku.

                                *****

Lama berputar-putar, sekarang, bocah itu ada di atas pohon.

"Sekali gerak, akan kutebas lehermu,"

"Kita datang ke sini baik-baik. Lihat! Temanku tewas!" Ia menurunkan pedang dari leher wanita itu. Lalu menjambak rambutnya. Menyeretnya dengan paksa untuk melihat temannya yang sudah terkapar di tanah dengan mata melotot.

"Aku yang membunuh temanmu! Ayo, bunuh saja aku, jangan dia!!" Teriak satu wanita di ujung sana. Pria itu tidak menggubris, ia malah menyeret wanita yang ada di depannya.

Wanita itu tersungkur karena dorongan kasar yang ia dapatkan. Pria itu berjongkok, mengacungkan pisau yang mulai menyentuh dahi si wanita, menekan lebih dalam, darah mengalir pelan. Nafas wanita itu seperti di ujung kerongkongan, malam yang sunyi. Aku akan mati! Aku akan pergi berbahagia di alam sana! pikirnya.

Sepasang mata kecil itu menyipit, ia sudah menyiapkan rencananya. Dalam hitungan
1 ...
2 ...
3 ...

Grusakk ...

Clakkk ...

Clakkkk ..

Clak ...

Susah payah pisau itu mengoyak kaos sampai menembus daging. Tetesan darah masuk ke pori-pori tanah. Tangan kecil itu bergetar, nyalinya menciut. Bocah itu terdiam. Ia memperhatikan tangannya lekat-lekat. Apa yang ku lakukan?

"Goblok ..." Teriakan dan sumpah serapah keluar dari mulut pria itu. Nyeri dipunggungnya menyebar cepat.

Ia membalikkan badan.

"Bocah ingusan!!" Teriaknya serak.

Pisau mulai terayun, menembus perut bocah itu. Nyeri merambat dari perut  ke punggung.

"Ibuuuuuk,"

Wanita yang dipanggil ibu mematung beberapa saat. Ia memukulkan batang pohon ke pria itu, mulai dari bahu, kepala, hingga kaki. Saat pria itu lengah, segera ia menusukkan ranting ke punggunnya.

Matanya melotot, saat ranting itu menyentuh tulang rusuknya.

Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini🤧🤏🙏

PULANGNYA BALAKOSA (END)Where stories live. Discover now