Darah Mati

1K 113 5
                                    

Follow dulu authornya yow!
Arombai_

Spam komen juga boleh. Xixixi
Votenya jugaa yaa😚biar makin mangattss authornya.

Seorang gadis kecil terkulai lemas di ranjang reot. Dengan beberapa helai kain berantakan di penjuru kamar. Ruangan lembab, dinding yang masih terlapisi dengan semen abu-abu. Sarang laba-laba memenuhi pojok sudut setiap ruangan. Apak dan sesak. Sangat kentara, jika tempat ini tidak pernah di jamah oleh tangan-tangan manusia.

Gadis itu menggeliat. Bahunya terasa nyeri. Kepalanya semakin berat. Ia mencoba untuk membangkitkan tubuh mungilnya. Perlahan, ia terduduk. Matanya menilik satu persatu setiap celah sudut ruangan. Lemari di pojok, dengan pintu hampir putus ke kiri. Meja yang di penuhi dengan debu. Ia mendelikkan mata saat melihat hewan mungil itu berkeliaran di sana-sini.

Hingga, ia mendapati tas jinjing berwarna hitam berada di sampingnya. Pikirannya melayang mengingat rentetan kejadian saat ibunya melepaskan pelukan mereka, lalu pergi meninggalkan dia yang menagis histeris.
Ia menitikkan air mata. Hatinya mumur mendapati selembar foto di saku tas saat ia mulai menggeledahnya. Seorang lelaki tersenyum tanpa beban, dengan seorang wanita menggendong gadis kecil. Mereka tampak bahagia.

Sebuah amplop terselip di sana. Riri membaca perlahan, beberapa kali membolak-balikkan  kertas setelah membaca satu sampai dua kalimat.
Ia tidak mengerti maksud dari surat tersebut.
Yang jelas, terdapat pesan di akhir tulisan. Bahwa, gadis itu tidak boleh membuang surat itu, hingga ia menginjak dewasa.
Riri segera mengembalikannya ke tempat semula. Setelah mendengar ketukan beberapa kali.

"Kau pasti sudah sadar. Cepat keluar," Suara Seorang wanita yang dia ingat betul, meskipun baru bertemu beberapa waktu lalu.

Riri segera beranjak dari sana setelah kunci pintu terbuka dari luar.

Ia melangkahkan kaki mengikuti seorang wanita yang berjalan di depannya.
Matanya menilik setiap lekuk dekorasi rumah bernuansa emas.
Lampu dinding terpasang di sepanjang lorong. Besar dan megah.

Bulu kuduknya meremang saat melihat seorang pelayan sedang menundukkan pandangannya di depan pintu kamar yang baru saja ia lalui. Rambutnya terurai panjang ke depan.
Kulitnya putih pucat.
Riri mempercepat lajunya.

"Siapa nama kamu?" Bu Agni mempersilahkan bocah itu duduk, bergabung dengan keluarga mereka. Meja makan panjang itu terdiri dari sepuluh kursi. Hanya 4 kursi yang ditempati.

"R-riri," Ia menunduk, lalu mengikuti mereka yang perlahan mengambil nasi dan lauk.

"Stop!" Bu Agni menepis tangan mungil itu  saat hendak mengambil lauk yang berada di piring saji.

"Kamu makan lauk sisa kemarin,"
"Dini, cepat bawa ke sini," Bu Agni meneriaki pelayan yang sedang berjalan dengan tergopoh-gopoh ke arah sana.

Riri mulai mengamati daging di iris tipis-tipis. Dilumuri bumbu rendang. Aromanya menguar memasuki hidung bocah itu, membuat perutnya keroncongan.

Tidak masalah, yang penting aku bisa makan. Batinnya.
Riri mulai menyantap makanannya dengan lahap.
Sedari tadi, Arghani hanya melirik Riri dengan pandangan tidak suka.

                              *****

Suara maghrib mulai terdengar dari masjid desa. Arini mengentikan langkahnya saat adzan dikumandangkan.
Arghani yang mengejar Arini pun sontak ikut berhenti. Arghani melirik ke arah jendela yang di lapisi dengan tirai tipis, seorang gadis kecil sedang mengintip mereka.

Arghani melambaikan tangannya ke arah Riri yang masih sembunyi di balik tirai.
Gadis itu keluar dari persembunyian. Lalu, melangkahkan kaki ke arah Arini dan Arghani dengan malu-malu.

"Arini, ayo pulang," Seorang pria paruh baya meneriakkan nama anaknya. Arini, langsung berlari menuju bapaknya yang sudah menunggu di pendopo.

Kini, hanya tinggal Arghani dan Riri.

"Kamu siapa?" Arghani menonjolkan telunjuknya ke gadis cilik yang berdiri di depannya dengan wajah menunduk.

"Riri," Balasnya

"Baju kamu jelek banget. Kamu nggak pantes tinggal di sini, ahahahaha," Arghani mendorong gadis itu hingga terjatuh diantara rerumputan.
Riri terhenyak saat tubuhnya tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan.

"Hemm....hekss, iibuuukkk,"

"Cepetan berdiri. Cengeng banget, ahahhahaha," Arghani menendang lutut Arini.

"Aku nyuruh kamu BERDIRI!" Sentaknya. Riri mengencangkan tangisannya. Gadis itu ketakutan melihat Arghani bersikap kasar.

Sebuah gunting tanaman berukuran kecil, tergeletak diantara rerumputan. Dengan sigap, Arghani mengambil gunting tersebut. Lalu menancapkannnya tepat di lengan kiri Riri.

Deg......
Riri terkejut bukan kepalang. Sebuah benda terbuat dari logam itu berhasil menembus kulitnya. Darah merembas ke baju lusuh yang ia kenakan.

"Hiks..ibuukkk, hemmmm...hikss, saakiiittttt, ibuk di manaaaa....h-iiiiiiiiii,"

Arghani segera melempar gunting itu ke semak-semak, saat melihat kulit gadis itu menganga. Arghani menjadi panik, ia juga hendak menangis melihat darah mengucur dari sana.

"Argha, maghrib cepat masuk," Teriak seorang wanita berada di ujung pintu samping. Arghani mengucek matanya berkali-kali, ia segera lari meninggalkan Riri di halaman samping rumahnya. Sedangkan, Bu Agni membiarkan Riri berada di sana seorang diri. Meskipun ia tahu, gadis itu sedang menangis seraya meneriakkan nama ibunya berkali-kali.

Langit oranye segera  berubah menjadi abu-abu, lalu menghitam pekat.
Bocah itu masih terduduk di atas tanah seraya menggenggam lengannya. Nyeri semakin leluasa. Riri tertidur di sana dengan memeluk lututnya sendiri. Ia terlalu lelah menangis hingga terlelap.

Seorang wanita berjalan ke arahnya. Dengan mengenakan pakaian khas pelayan di rumah itu.

Riri tergelagap saat hawa dingin menerpa lengannya. Tangan pucat itu mengelus tangan Riri.
"Mbak, tolong obatin akuuu. Hemmm....hekss," Riri mengiba ke pelayan tersebut.

Orang itu tersenyum di balik rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya.

Cairan merah kental mulai ia oleskan ke luka menganga yang berada di lengan gadis itu.
Bulu kuduk Riri meremang seketika, saat tangan wanita itu menyentuh kulitnya. Ia mencium bau anyir. Ia mendengus berkali-kali. Membuat hidung mungilnya mengambang, lalu mengempis. Angin semilir berubah menjadi sedikit ganas. Bambu kuning yang berada di pojok pekarangan bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti hilir angin. Wanita itu mengusap tangan Riri dengan sangat lambat. Nyali Riri menciut seketika, saat melihat tangan wanita itu membiru, dengan kuku panjang yang hampir saja menembus kulitnya. Kini, pakaiannya menjadi lusuh dari sebelumnya. Bercak merah kehitaman merembas ke seluruh baju yang ia kenakan.

Entah sejak kapan, rambut wanita itu tergerai ke belakang. Menampilkan wajah cantiknya. Ia menyeringai ke arah Riri. Gigi hitamnya mebuat gadis kecil itu begidik ngeri. Senyumnya semakin lebar, hingga darah hitam keluar dari mulut wanita itu. Seketika, matanya mencuat. Menggelinding tepat di kaki Riri. Benda bulat itu membesar, memelotot ke arah bocah kecil yang sudah tak sadarkan diri.

Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini🤧🤏🙏

*Next? Kupaksa komen. Authornya kan bingung. Mau dilanjut apa engga😭

PULANGNYA BALAKOSA (END)Where stories live. Discover now