14 - revised

5.9K 483 4
                                    

Having no regrets is all that she really wants

***

"Pulang sendiri-sendiri aja, Ben." Aku memutar bola mata malas saat melihat Ben yang malah berjalan mengikutiku.

Laki-laki itu menyodorkan tangannya padaku, "mana kuncinya?" Pada akhirnya aku memberikannya, kali ini duduk di kursi penumpang depan. Tidak mengulangi kejadian pada saat itu.

"Aku masih mau di rumah Mama." Ujarku, Ben hanya diam. Laki-laki di sampingku ini mulai mengemudikan roda kemudi dengan satu tangannya.

Aku duduk menyerong ke arahnya, "emang di rumah sakit tempat kamu kerja gak ada peraturan pakaian apa?" aku menatapnya yang kini tengah fokus menatap ke arah jalan raya, "ada." Katanya santai.

Aku menghembuskan napas pelan, kenapa Ben jadi kebal aturan seperti ini sekarang.

Laki-laki itu menoleh ke arahku, "ada yang mau dibeli nggak?" tanyanya, aku berpikir sejenak. Ah ya, akhirnya aku mengangguk.

Saat aku membuka pintu mobil, Ben bersuara. "Nitip rokok 1." Aku terdiam sejenak, setelah mengembalikan kesadaran aku menanyakan merknya dan berlalu ke toserba di depan. Aku langsung menuju rak mengambil camilan, keju, dan yogurt. Saat di kasir aku mengatakan rokok pesanan Ben.

Mahal juga, pantas saja ibu-ibu di luar sana melarang suaminya untuk merokok. Jika dihitung dengan runtut benar-benar boros.

Setelah seluruh barang yang kuperlukan sudah kubeli, aku berjalan keluar untuk kembali ke arah mobil kami dengan Ben yang menunggu di dalamnya. "Tanya aja," begitu aku masuk ke dalam mobil Ben bersuara.

Aku mengangkat bahuku pelam, "sejak kapan? Kamu kebawa temen waktu kuliah?" tanyaku pada akhirnya, karena setauku selama SMA Ben tidak merokok. Walaupun beberapa teman satu tongkrongannya sudah merokok.

Ben melajukan mobil, "waktu tau kamu deket sama siapa itu namanya yang pernah dibikin story." Ah, aku mengangguk paham.

Aku sempat dekat dengan keponakan jauh tanteku, tapi demi apapun kenapa malah berdampak pada Ben? Aku tidak memiliki niat seperti itu.

"Segitunya?" ucapku.

Ben terkekeh, "kamu aja belum maafin aku, Ra." Aku hanya mengangguk, "terus dari situ jadi kecanduan?" tanyaku lebih lanjut. Ben menggeleng, "kalo lagi stress aja." Balasnya.

Aku menatapnya heran, "so, what happened?" ujarku.

Ben terkekeh mengacak rambutku, aku berdecak, "habis berapa sekali ngerokok?" oke, sepertinya Ben belum ingin membicarakannya, aku mencoba untuk mencari topuk lain. "Satu," jawab Ben.

Aku mengangguk mendengarnya, "ah it's okey masih normal." Aku membuka camilanku, "satu bungkus, Ra." Ucapannya membuatku melongo tidak percaya, "HAH?!" kini mataku benar-benar melotot ke arahnya. "Ya, semaleman di balkon." Aku menggeleng tidak percaya, hanya butuh waktu berapa jam saja untuk menghabiskan satu bungkus rokok, "kalau kurangin mulai sekarang, bisa?" tanyaku padanya. "Bagi ke aku ya, pelan-pelan." Kataku halus.

Ben mengangguk dengan senyum tipisnya. "Makasih, Ra." Aku membalas senyumannya.

***

Aku mengubah posisi dudukku, menyerong ke arahnya. "Ih kan aku bilang masih mau di rumah Mama." Mataku memicing ke arahnya. "Ambil bajuku, sekalian ikut ke sepupu kamu." Ah, aku merilekskan otot-ototku yang tadi seketika tegang.

Aku mengangguk, "emang kamu free?" tanyaku agak bingung, saat tadi aku melihat ke kalendernya yang ada di meja kerja, seingatku dua hari ke depan lelaki itu melingkarinya.

we're [selesai]Where stories live. Discover now