12 - revised

6.4K 589 12
                                    

And I've heard of a love that comes once in a lifetime

***

Aku memeluk wanita paruh baya yang membukakan pintu rumah ini, "Mama sama Papa gak di rumah, bi?" tanyaku pada wanita yang sudah merawatku sejak lama ini.

Bi Ida menggeleng, "lagi jenguk tetangga sebelah neng, di rumah sakit." Aku mengangguk paham, "yaudah aku ke atas dulu ya, bi." Aku berjalan sembari melihat sekeliling rumah yang sudah aku tinggal beberapa hari ini.

Suasana rumah ini sangat berbeda dengan rumah Ben, walaupun kini hanya ada aku dan Bi Ida di rumah ini. Namun tidak terasa sepi seperti saat aku di rumah Ben. Ahhh bau kamar ini sangat aku rindukan, kamar yang selalu aku jadikan tempat untuk menghindari dunia luar.

Aku segera menaruh tasku dan mencopot sepatu yang aku gunakan seharian ini di kantor. Aku berlari ke arah ranjang begitu melihatnya, tertelungkup di ranjang ini yang jika dibandingkan ukurannya hanya separuh dari ranjang di kamar Ben. Nyaman sekali, aku memejamkan mataku hingga tak sadar sungguhan terlelap.

***

Mataku mengerjap, ruangan ini temaram. Kulihat lewat jendela kamar, cahaya matahari sudah menghilang. Hanya ada sinar dari lampu nakas ranjangku.

Aku mencari ponselku dan melihat jam di sana, sudah pukul 7 lebih. Aku segera bangun dari pembaringanku sambil mengumpulkan nyawaku yang belum terkumpul sepenuhnya.

Setelah sadar aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku yang terasa gerah. Lihat, kamar mandiku benar-benar kering.

Setelah menikmati setengah jam lebih di kamar mandi, aku keluar dengan handuk melilit.

Kebiasaanku, kamarku tidak tersedia walk in closet seperti milik Ben. Membuatku mau tidak mau harus berjalan ke arah lemari baju, mencari bajuku yang masih tersisa di rumah ini.

Aku memilih piyama berwarna navy-ku untuk kupakai malam ini, setelahnya berbalik untuk mengambil ponselku dan turun ke bawah. Mungkin orang tuaku sudah pulang.

Aku terlonjak kaget melihat Ben yang duduk di ranjangku dengan siku tangan yang seperti biasa kemeja hitamnya lelaki itu lipat tengah bertumpu pada pahanya sambil menatapku intens.

"Dari kapan?" tanyaku mencoba mengatur napas.

Ben mengedikkan bahu, "dua puluh menitan, mungkin." Jelasnya, Ben berdiri dari duduknya menghampiriku.

Laki-laki itu menjulang di depanku. Aku menatapnya, selisih tinggi kami tidak jauh. Mungkin tingginya hampir 180. Tinggiku sebatas lehernya, aku termasuk tinggi jika dibandingkan dengan wanita asia pada umumnya.

Aku menatapnya tidak mengerti, "apa?" tanyaku, namun Ben malah mengambil handuk di tanganku dan berlalu ke kamar mandi. "Ada baju ganti di bagasi mobil, tolong ambilin ya." Suaranya terdengar dari dalam, aku memutar bola mata malas.

Akhirnya aku keluar dari kamar seperti yang diminta oleh Ben, "pulang jam berapa ma?" tanyaku pada Mama yang duduk di sofa, aku memeluknya erat.

Mamaku membalas pelukanku, hangat. "Jam lima kali tadi, kamu mau ke sini kok gak bilang-bilang?" Mamaku menatapku intens, tatapan curiganya sangat terlihat.

Aku mendegus, "emang napa, gaboleh?" kataku dengan nada kesal. Mamaku berdecak kesal, "gak sopan emang dari dulu," aku terkekeh mendengar teguran Mamaku.

"Suami kamu mana?" tanyanya, aku menunjuk dengan kepalaku. "Mandi, kan! aku lupa mau ambil baju di mobil." Aku menepuk dahiku pelan, segera berlari keluar.

we're [selesai]Where stories live. Discover now