15 - revised

6.4K 472 3
                                    

Thought I could get you back

***

Kami tiba di rumah sepupuku saat matahari mulai terbenam, karena rumah sepupuku sudah penuh di tempati oleh beberapa kerabat.

Akhirnya aku dan Ben memutuskan untuk ke rumah Nenekku, sedangkan orang tuaku tetap di sana.

Saat kami tiba di rumah sepupuku, semua memandang Ben dengan sedikit basa-basi karena baru kali ini mereka melihatnya. Mereka tau kami sudah menikah, orang tuaku memberi kabar saat aku akan menikah. Namun, tidak ada yang datang ke pernikahan kami.

"Kamu bakal diinterogasi sama Mbah Kakung banyak, siap-siap ya Ben." Aku tersenyum devil menoleh ke arah laki-laki itu sambil menepuk bahunya. Ben tersenyum tipis, "aku mapan," aku memutar bola mata malas saat mendengarnya.

"Beriman?" tanyaku menantang, Ben terkekeh.

Rumah satu lantai dengan halaman luas sudah terlihat, lebih luas dari rumah Ben. Ben melihat sekeliling, "serem kan." Aku berjalan di depannya. "Sereman kamu waktu dulu, Ra." Aku memelototinya.

"Mbah Putri!" aku memasuki rumah dengan suara keras, segera berjalan cepat saat melihat Nenekku yang duduk di kursi kesayangannya.

Aku memeluknya erat, aku sangat dekat dengannya. Karena sewaktu aku kecil aku sering berlibur ke sini. "Ganteng," aku terkikik mendengar bisikan Nenekku.

"Mbah Kakung mana?" tanyaku, Nenekku menunjuk ke arah dapur. Aku mengangguk untuk menghampiri Kakekku. "Duduk sini, nang," aku mendengar suara Nenekku.

"Haloooo," punggung Kakekku agak tersentak, aku memeluknya dari belakang. "Sama siapa ke sini?" tanyanya. Aku menarik tangannya, "sama Ben." Kataku.

Saat berjalan ke arah depan, aku melihat Nenekku tengah mengajak Ben berbincang.

Lelaki itu berdiri saat Kakekku menghampirinya, menyaliminya sopan.

"Aku ambil minuman dulu ya," aku dan Nenek beriringan ke dapur, Nenek tau kalau Kakek ingin privasi untuk bertanya pada Ben. "Kemaren, calonnya si Kia lama banget ditanyainnya." Aku menatap Nenek tidak percaya, wah Kakekku benar-benar.

"Kalian ko ndadak banget?" tanyanya, aku menuntun Nenek agar duduk. Sambil menyiapkan minuman aku mulai bercerita, "Ben dulu temen SMA aku, Ti," jelasku.

"Sempet suka?" aku mengangguk mendengar tebakan Mbah Putiku, "Ben pernah deketin aku, tapi aku dulu emang gak suka sama dia. Biasa aja." Kataku terus terang. "Terus, mungkin karena aku sering ngehindar. Gak nanggepin dia, akhirnya dia jadian sama temen satu kelasku yang emang deketin Ben dari awal." Jelasku Nenekku.

Nenekku mengangguk mengerti, "kamu nyesel?" tanya Nenekku, aku mengangkat bahuku pelan. "Awalnya biasa aja, terus makin kesini makin sadar. Aku ngerasa kaya ada yang kurang." Jelasku, aku berkata jujur. Jujur saja aku hampir membalas perasaan Ben, dihari Ben jadian dengan Gea.

"Terus di kelas jadi canggung, tapi yang tau cuma kami berdua, temen sebangku aku, sama temen tongkrongan Ben." Aku mengambil toples dari nakas atas, "kita berdua, engga mungkin aku aja yang berusaha buat nutupin dari temen kelas. Sampai sekarangpun gak ada yang tau." Ucapku menjelaskan.

"Terus kamu nunggu sampe sekarang?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Mbah Putri inget nggak? Waktu aku bilang ada yang pake privilege?" Nenekku mengangguk, "Ben, orang itu Ben." Beliau menatapku tidak percaya, "iya, orang yang dulu bener-bener aku benci." Aku menghembuskan napasku pelan.

Aku melanjutkan, "aku ngehindar lagi dari dia, sampai sepuluh tahun lebih." Nenekku menggeleng takjub. "Sampe akhirnya dia dateng dan jelasin semuanya ke aku, walaupun jujur semuanya masih ada. Gak bisa aku lupain." Neneku memelukku lembut, aku rindu dengan pelukannya.

we're [selesai]Where stories live. Discover now