bagian 11.

217 44 13
                                    

Mungkin tepakan sepatu kuningnya bisa menjelaskan kalau siang hari ini begitu panas dan dia sudah terjebak macet setengah jam di jalanan yang padat merayap. Alhasil, ketika dia sampai, sudah ada dua orang yang menatapnya dengan senyuman penuh maklum.

"Aku salah ambil jalan, harusnya aku tidak lewat depan kantor suamiku. Ah, aku lelah menyetir."

"Tumben menyetir sendiri, di mana supirmu?" tanya Ruby seraya memberikan bir kalengan yang dingin.

Juhyun mengambilnya. "Tidak kupakai, dan lagi aku harus buru-buru keluar dari rumah sebelum Ibu mertuaku datang dengan Soo Ji."

Ada tawa yang terdengar berbeda, dia berpakaian nyentrik dengan rambut yang dimode tahun 80-an, mengembang dan berponi. Lipstik cukup tebal dipakai saat siang hari begini, siapa pun tahu dia siapa.

"Sepertinya hubunganmu dengan ibu mertua dan adik ipar belum membaik, Juhyun."

"Anggaplah begitu. Madam sampai Korea sejak kapan?"

Madam Emma, itu namanya. Dia tersenyum kecil seraya melirik Ruby, murid paling menyebalkan yang pernah dia didik. "Kemarin pagi, dan sudah disuruh kemari oleh si tengik ini."

"Memangnya Madam tidak merindukan kami berdua?"

"Dasar bocah! Selama di Toronto aku sudah banyak mendapatkan murid sepertimu."

Sontak keduanya saling diam, berbeda dengan Madam Emma yang mengeluarkan sebatang rokok dan menatap si yang punya ruangan.

"Aku boleh merokok di sini, Ruby?"

"Oh, tapi buka jendelanya. Atau nanti pendeteksi kebakaran akan berbunyi."

"Cih, kau pikir seberapa banyak asap rokokku, hah." Namun Madam Emma melakukan perintah si yang punya tempat, dia berjalan membuka jendela dan menyalakan rokoknya di sana. Asap langsung mengepul.

Juhyun perhatikan air muka wanita itu, nampak lelah, dan sayu. Mungkin alasan riasan tebal dipakai saat siang hari untuk menyamarkan sisa air mata di wajahnya, atau mungkin bekas tamparan seseorang. Diam ketiga wanita itu cukup memberikan waktu, hingga Madam Emma menghela.

"Aku tidak bercerai."

Mereka berdua tercengang. Bahkan Ruby menjatuhkan pensil gambarnya.

"Aku tahu kalian sejak tadi ingin bertanya, kan?" tanya Madam Emma yang diakhirnya tertawa.

"Kenapa?" tanya Ruby.

"Perjelas kalimat tanyamu, Shin Ruby."

"Kenapa Madam tidak menuntut pria itu? Apa untungnya semua ini?"

Madam Emma bergerak selaras detik jam agak bergeser dari samping jendela yang terbuka, cukup terik yang membuat matanya silau.

"Wanita itu hamil, dan mereka bahkan sudah merencanakan akan melakukan babymoon ke Perancis. Tempat putraku belajar."

Juhyun terkesiap.

"Tentu saja tidak kuizinkan. Meski Charles hanya ayah tiri bagi Rein, tapi anak itu menganggap ayah tirinya begitu baik dan sempurna. Aku tidak mau menghancurkan mental Rein sekali lagi."

"Dan kau memilih tidak berpisah?"

Madam Emma mengedikkan bahu. "Lagi pula, jika kami bercerai, dia akan menuntut sebagian hasil dari butik yang aku bangun di Piana dan Milan. Aku tidak bisa memberikannya. Meski memang Charles memiliki hak karena itu adalah hasil yang kami berdua dapatkan semasa menikah, tapi tidak bisa kubayangkan, uang dari butik atas namaku dijadikan pemuas nafsu wanita gila itu." Madam Emma tertawa. "Dan wanita itu karyawannya Charles."

Janji Suci - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang