bagian 1.

583 60 13
                                    

Suara tepakan sepatu terdengar jelas melintasi lorong dengan lantai berukir transparan warna gelap, dinding di kanan kirinya tertampak beberapa koleksi lukisan dari abad ke-18 hingga sebuah lukisan abstrak bernilai milyaran dolar tersebut. Panjang lorong mungkin bisa mencapai 30 meter, entah apa yang ada di pikiran sang arsitek sewaktu membangun gedung besar ini. Terletak di daerah Gangnam, dimana semua orang tahu bagaimana Gangnam menjadi tren senter untuk kehidupan konglomerat hingga kapitalismenya yang tinggi.

Langkah kecil berbalut sepatu hak tinggi warna putih tulang, dengan sebuah celana bahan kulot kebesaran warna serupa sepatunya, masih berusaha mempercepat langkahnya. Kian anggun tatkala anak rambut bersisa di belakang kepalanya agak terbawa angin dari lorong udara tersebut. Matanya dirias agak ringan, tidak begitu berat, mengingat dia hanya pergi keluar rumah sementara saja.

Hingga di ujung lorong, dia menemukan sebuah pintu klasik warna hitam dengan dindingnya yang berwarna merah. Dia tak tahu apakah maksud si arsitek seakan menyiratkan lorong ini mirip dengan lorong yang dilalui Alice sewaktu mengejar kelinci atau bukan.

Dia mengetuk dan memutar daun pintunya. Seseorang duduk di kursi dengan pensil yang menggantung di telinga kiri, sanggul acak namun membuat karismanya lebih menguar. Belum lagi hanya mengenakan kaus putih, dan celana bahan hitam.

"Wah, nyonya besar kita sudah datang."

Ada decakan kesal dari bibirnya sewaktu mendapat sambutan tersebut.

"Apa perjalananmu lancar, Nyonya?"

"Berhenti bilang gitu, Ruby."

Ruby, si pemilik lorong panjang dengan pintu klasik hitamnya itu malah tertawa kecil. Mendapatkan balasan yang sudah dia duga memang menyenangkan.

"Tapi aku serius, bukankah jalanan cukup padat di luar?"

"Iya, lumayan."

"Bagaimna rasanya keluar rumah, Juhyun?"

Juhyun menoleh usai melihat manekin telanjang di ruangan rekannya itu. "Kau berhenti meledek."

Ruby kembali tertawa. "Hanya bercanda. Habis susah sekali mau bertemu denganmu, dan malah bertemu sekalinya kau pesan baju."

"Aku harus meminta izin dulu, Shin Ruby."

"Oke, oke." Ruby bangkit dan mendekatinya. "Kali ini pesan gaun untuk acara apa? Peresmian hotel? Acara keluarga di Hawaii? Atau justru pernikahan saudara suamimu?"

Juhyun tersenyum manis, senyuman yang semasa kuliah dulu membuat iri semua kaum hawa. Pasalnya dia punya kontur wajah paling ideal di satu angkatan, belum lagi porsi tubuhnya yang semampai dengan otaknya yang cerdas.

"Makan malam dengan keluarga suamiku."

"Hanya makan malam dan kau memilih memesan gaun?"

"Ada dresscode, Ruby."

Ruby merotasikan matanya. "Aku tidak pernah paham konsep pikiran orang kaya."

Juhyun menarik sudut bibirnya, selagi kakinya mendekati beberapa lembar kertas yang berserak di sudut ruangan. Ada sketsa yang dicoret-coret, dan nampaknya ini dibuang karena dianggap gagal.

"Apa ini sketsa untuk fashion week di New York?"

"Yaps!" jawabnya tanpa melihat Juhyun. Dia sedang mencari alat ukur dan buku catatan yang biasa dia gunakan. Mendadak selalu hilang saat dibutuhkan.

"Kenapa dibuang? Bukankah ini bagus?"

"Tidak, Juhyun. Itu aneh. Sebentar, dimana terakhir kali aku lihat pensilku?"

Janji Suci - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang