From : Pak Bhumi-Dosen Psi. Konseling

| Saya liat tadi kamu di kampus? Bisa ke ruangan saya?

Saya menghela napasnya saat pesan masuk dari Bhumi terbaca olehnya di layar pop-up. Pekerjaannya memang belum selesai. Masih ada beberapa makalah yang belum dibacanya karena tertunda Sana harus segera membuat soal UTS lebih dulu.

"Gue pergi dulu deh." Sana bangkit, mengambil tas mahalnya dari atas meja.

"Mau ke mana?" tanya Adel.

"Cari gadun." Tanpa menoleh lagi pada Adel, Sana keluar dari kampus.

Sedang Adel, gadis itu hanya bisa geleng-geleng menatap kepergian temannya itu.

*__*

"Parfum gue." Sana menatap mengenaskan pada parfumnya yang baru saja terjatuh kemudian pecah berkeping-keping.

"Kak, maaf Kak, aku nggak sengaja."

Sana meraung. Menangisi Holy Pony keluaran Dior seharga 5 juta yang isinya masih setengah namun hancur begitu saja karena disenggol oleh seseorang saat Sana meletakan parfum itu di atas wastafel ketika gadis itu sedang merapikan pakaiannya.

"Kak, maaf, Kak, aku benar-benar nggak sengaja." Kemudian seorang mahasiswi yang menjatuhkannya juga hampir menangis menatap parfum itu. Dia tahu itu pasti sangat mahal. Apalagi parfum itu milik kakak tingkatnya. Sanalia Afiyah Anugerah yang sangat terkenal seantero fakultas itu.

"Hwa ... parfum gue." Nasib Sana benar-benar sial sekali hari ini. Salah! Sial sekali sejak beberapa minggu yang lalu.

"Kak, maaf banget. Aku mau ganti tapi aku pasti nggak punya uang sebanyak itu untuk ganti parfum Kakak."

Kali ini Sana mendongak, menatap adik tingkat di depannya dengan air mata yang masih keluar dari matanya. Sana sungguhan menangis. Kalau uang jajannya masih normal seperti biasa, dia tidak akan menangisi parfum yang harganya hanya 5 juta itu. Namun, masalahnya, itu adalah parfum kesayangannya dan Sana tidak tahu kapan memiliki uang untuk membeli yang baru.

"Udah, deh, sana lo keluar." Sana mengusirnya. Dia memang belagu dan sedikit sombong. Namun, Sana bukanlah orang yang suka memperbesar masalah. Meskipun sangat marah karena perbuatan gadis di depannya, tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur dan Sana tidak bisa berbuat banyak. Memaksa dia untuk ganti juga percuma, kan? Orangnya aja udah bilang kalau dia nggak punya uang.

"Kak, maaf." Adik tingkatnya itu kembali bercicit pelan.

"Udah sana keluar sebelum gue berubah pikiran!" Sana membentaknya, kemudian membuat adik tingkat itu benar-benar keluar dari toilet kampus dan meninggalkan Sana seorang diri.

Dengan memunguti beling pecahan parfumnya itu, Sana benar-benar merasa sangat tidak berdaya. Gadis itu kemudian membawa beling-beling itu dan membuangnya pada tempat sampah di depan toilet. Mengusap sekali lagi air matanya, Sana kemudian melangkahkan kakinya menuju kantor milik dosennya itu.

Sana sudah tiba. Mengetuk pintu sekali kemudian masuk saat sudah dipersilakan. Gadis itu menatap Bhumi yang masih duduk di depan laptop di atas meja kerjanya.

"Bantu saya periksa soal UTS." Bhumi menyerahkan beberapa lembar kertas pada Sana.

Sana yang tadi masuk kemudian duduk di sofa langsung menerimanya. Ini adalah hari pertama UTS dan kelas yang Bhumi ajarkan di semester 4 sudah menyelesaikannya lebih dulu.

"Kunci jawabannya ada di sana." Bhumi menunjuk selembar kertas di dalam fail plastik di atas meja.

Sana mengangguk. Mood-nya sedang tidak baik karena dia tidak bisa membeli pakaian yang diinginkannya dan parfumnya pecah.

"Kamu habis nangis?" Bhumi menyadari itu. Mata Sana yang terlihat sembab dan masih memerah.

Sana mengalihkan wajahnya dari Bhumi. Dia tidak mau terlihat begitu cengeng dan mengenaskan di depan dosennya itu.

"Kenapa?" tanya Bhumi.

Sana tidak mau menjawab. Namun, dia justru semakin bertambah sedih saja. Kenapa hukuman ini begitu berat dijalaninya. Sekali lagi, Sana tidak pernah hidup susah. Kemudian menahan keinginannya untuk belanja adalah hal yang paling menyusahkan. Bukan hanya itu, Sana juga disuruh menghemat uang di mana dia tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya.

Kalian mengerti, kan, maksudnya? Sana terkejut dan tidak biasa. Dia tidak pernah dalam kondisi seperti ini. Ke mana-mana harus naik taksi online yang mobilnya tidak lebih bagus dari mobilnya sendiri. Bahkan terkadang harus menebeng dengan saudaranya. Kemudian Sana juga tidak bisa makan di restoran langganannya. Sana juga tidak bisa berbelanja.

"Saya keluar dulu." Melihat Sana yang sepertinya tidak akan menjawab, Bhumi akhirnya memilih keluar dari ruangannya.

Selepas kepergian Bhumi, Sana mengerjakan tugas yang diberikan Bhumi dengan tenang. Mencoba untuk mengenyahkan pikirannya soal baju dan juga parfum. Sana harus berkonsentrasi. Dan hal ini sepertinya cukup ampuh untuk membuat lupa. Karena kini, Sana sudah larut dalam pekerjaannya dan mulai serius menatap lembaran-lembaran kertas di depannya.

Saking seriusnya, Sana bahkan tidak sadar saat Bhumi kembali masuk ke dalam kantornya dan meletakan paper bag di atas meja di sisi kertas-kertas itu.

"Makan siang," ujar laki-laki itu.

Sana mengangkat kepalanya, menatap Bhumi dengan matanya yang sudah tidak lagi memerah.

"Atau kamu udah makan siang?"

Sana menggeleng. Hanya Adel yang makan di kantin. Sana sedang tidak berselera makan di kantin karena dia rindu makanan di restoran langganannya. Tapi sayangnya, uangnya tidak cukup untuk makan di sana.

Sana melirik makan siang yang Bhumi bawa. Dari paper bag tersebut terdapat logo sebuah restoran yang tidak jauh dari kampus mereka. Restoran yang semua menu makanannya adalah healty food.

Terlihat lebih menarik daripada makanan di kantin, Sana pun meraihnya. Gadis itu kemudian membuka salah satu paket makanan itu yang kemudian membuat senyumnya terbit. Ini adalah sebuah steak. Meski bukan berasal dari restoran langganannya, tapi Sana pernah makan steak di tempat ini. Dan rasanya sungguh enak. Tidak seperti steak yang ada di kantin. Memang, ya, ada harga ada kualitas.

"Ini, Pak." Masih dengan senyumnya yang cerah, Sana menyerahkan satu paket makanan itu pada Bhumi. Bahkan berbaik hati membuka tutup botol air mineral milik Bhumi. "Selamat makan, Pak Bhumi."

Sana kemudian melahap makanannya dengan lahap. Benar-benar tidak sia-sia menjadi asistennya Bhumi. Dengan uang yang dimilikinya sekarang, Sana harus menahan membeli makanan enak bahkan hanya makanan yang tengah dimakannya saat ini.

"Untuk makan siang kamu selanjutnya saya tanggung. Tapi, besok-besok, bukan saya yang beli keluar."

Sana menelan potongan steaknya. Menatap pada Bhumi kemudian tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi. "Siap, Bos. Besok Pak Bhumi tinggal bilang aja mau makan apa nanti saya yang beli. Asal uangnya dari Bapak, ya."

Bhumi hanya geleng-geleng kepala, kembali melanjutkan makan siangnya.

Bumi Milik SanaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora