"Mami!" Sana terkejut bukan main. Uang jajan dipotong saja sudah suatu hal yang besar. Lalu sekarang apa? Mobilnya akan ditarik juga? "Mi, tolong jangan sekejam ini sama Sana. Dua juta perbulan berarti sehari Sana cuman dapat 60 ribu-an. Buat naik taksi pulang pergi ke kampus aja nggak cukup, Mi."

"No, Sana. Keputusan ini sudah final. Mobil dan uang jajan kamu baru akan bisa kembali normal setelah kamu lulus kuliah. Dan perlu kamu tau, alat transportasi di Jakarta ini bukan cuman taksi aja."

"Mami ...."

Semakin merana saja Sana dibuatnya.

*__*

Uang jajan dipotong memang seperti kehancuran dunia bagi Sana. Namun sebagai orang yang tidak ingin dunia cepat sekali hancur, Sana harus bangkit. Banyak jalan menuju Roma bukan? Kehilangan uang jajan dari Sang Papi bukanlah akhir dari segalanya. Karena Papi, bukanlah satu-satunya sumber penghasilan dompet Sana.

Sana sudah mandi. Sudah rapi dan sudah cantik sekali. Modis seperti biasanya. Tapi karena hari ini Clarinna sedang berduka, dia tidak mengenakan pakaian yang begitu mahal. Hanya Oversize T-Shirt seharga 250 ribu dari Zara dan dipadukan dengan trousers atau celana panjang dari brand yang sama seharga 730 ribu, Sana sudah siap untuk bertemu dengan sumber penghasil uang lainnya.

Sana sedikit berdehem. Dengan mengarahkan layar ponsel yang sedang menunggu panggilan videonya terjawab, Sana berusaha untuk memasang wajah memelasnya. Dia harus totalitas dalam berakting agar sugar daddy-nya ini memberi tambahan untuk isi dompetnya yang malang.

"Papa ...." Sana langsung mewek begitu panggilan terjawab. Di sana muncullah wajah seorang laki-laki yang dipanggilnya Papa. "Papa, Sana lagi sedih." Sana bahkan berhasil memunculkan air matanya yang mati-matian dia coba untuk keluarkan.

"Kenapa princess?" Daffa—salah satu sumber penghasilan Sana menatap sang ponakan dengan khawatir.

"Pa, Papi potong uang jajan Sana." Sana menangis. Sedikit dilebihkan dengan mengusap air mata dan acting untuk menguatkan diri. "Sana nggak punya uang, Pa. Sana nggak bisa jajan, nggak bisa makan."

Tidak seperti biasanya. Daffa biasanya akan semakin khawatir. Tapi kini, Daffa justru tersenyum kecil. Ada yang salah dengan Omnya ini.

"Sorry, Princess. Papa nggak bisa bantu. Mami kamu udah hubungin Papa untuk nggak kasih kamu uang jajan. I'm so sorry."

Tangis Sana semakin keras. Kali ini benar-benar menangis. Sungguh kejam sekali maminya itu.

"Dan Princess, kamu sudah dewasa, Nak. Kamu harus belajar untuk menjadi lebih dewasa. Oke, Sayang?"

Sana tidak mau lagi mendengarkan nasihat dari Daffa—kakak dari papinya itu. Sudah cukup telinganya dinasehati semalaman oleh Mami dan mendapatkan hukuman potongan uang jajan yang begitu kejam. Hingga panggilan videonya dengan Daffa berakhir, Sana hanya mengusap air matanya.

Jangan menangis, Sana. Ini bukanlah akhir dari segalanya.

Saka dan Daffa bukanlah satu-satunya sumber penghasilan Sana. Ada cari lain yang bisa dilakukannya.

*__*

"Sana, Sayang. Ibu nggak bisa bantu banyak. Kamu tau kan Mami kamu kalau marah kayak apa?" Penolakan yang kedua berasal dari Clarissa—saudara kembar dari maminya.

"Jangankan Papi kamu, Ayah juga takut kalau sama Mami kamu, Nak. Kamu jalani aja hukuman kamu, ya. Bye, Pretty. Ayah ada meeting." Lalu yang ketiga, berasal dari Daniel—suami Clarissa. Lebih naasnya, Sana ditinggalkan begitu saja di ruangan omnya setelah mati-matian gadis itu datang dari rumahnya dengan taksi menuju kantor ini.

Bumi Milik SanaWhere stories live. Discover now