Seperti dugaannya, tidak lama kemudian seorang cewek berseragam khas sekolah Nuski keluar dari rumah itu dengan tergesa-gesa. Saga segera mengambil gambar dengan ponselnya sebelum cewek itu melaju dengan ojek online yang sudah menunggu di depan pagar.

Foto di ponselnya tidak terlalu jelas menangkap wajah cewek itu. Namun, setidaknya, Saga jadi punya gambaran seperti apa ciri-ciri anak dari wanita simpanan papanya. Seorang cewek berambut hitam lurus sepunggung, kulit putih, dan tinggi sedang.

"Wih, diam-diam lo demen sama cewek?" Suara Agam tiba-tiba saja mengejutkan Saga. Saga buru-buru mengunci ponselnya. "Syukurlah. Gue pikir selama ini lo nggak normal." Agam mengusap dadanya dengan berlebihan, kemudian duduk di sebelah Saga. "Sekarang gue bisa sedikit tenang jadi teman sebangku lo selama dua tahun berturut-turut sampai setahun mendatang."

"Berisik lo!" balas Saga kesal.

"Cewek tadi siapa? Cewek lo? Kenalin, dong." Agam mencondongkan tubuhnya mendekati Saga.

"Gue nggak kenal dia."

"Oh, jadi ceritanya lo diam-diam suka sama cewek itu?" Agam menyimpulkan sendiri. "Mana, sini lihat fotonya. Gue hafal semua cewek cantik di sekolah ini. Kalau cewek di foto itu termasuk dalam kategori cantik menurut gue, berarti gue pasti tahu!" katanya berbangga diri.

Saga melirik Agam sekali lagi. Mungkin ada untungnya juga bila ia memperlihatkan foto ini. Siapa tahu Agam mengetahui nama dan kelas cewek dalam foto ini hingga memudahkan rencananya.

Saga mengaktifkan kembali layar ponselnya. Dipandanginya sekali lagi foto cewek yang sedang menutup pagar dari jarak jauh, kemudian ia mengulurkannya kepada Agam.

Agam menyambut ponsel Saga penuh minat. Cukup lama ia memperhatikan sosok cewek dalam foto itu. "Lo ngambil gambarnya nggak niat banget. Masa tampak belakang gini!"

Saga berdecak sekali, kemudian tangannya bergerak hendak merebut kembali ponselnya. Namun, Agam masih mempertahankannya.

"Sini kembaliin!" pinta Saga. "Berarti itu cewek nggak termasuk kategori cantik!" katanya menyimpulkan.

"Tunggu, tunggu!" Agam masih menggenggam erat ponsel Saga yang berusaha direbut pemiliknya. "Kayaknya gue tahu cewek ini."

Saga melebarkan matanya sambil menanti kata-kata Agam selanjutnya.

"Dia anak kelas X," sebut Agam tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

Mata Saga mengikuti arah pandang Agam di ponselnya. "Siapa namanya?"

***

Selin sudah merasa siap mental menginjakkan kakinya di kantin lantai dua. Usahanya membujuk Hani untuk menemaninya ke tempat ini, gagal. Teman sebangkunya itu bilang bahwa ia belum cukup berani mengunjungi tempat yang selalu dikuasai senior. Alhasil, di sinilah Selin kini berada, di pintu masuk kantin lantai dua seorang diri, tanpa tahu harus ke mana.

Selin mengirim sebuah pesan untuk seseorang yang mengajaknya bertemu pagi tadi.

Selin A.

Kak, aku udah di kantin lantai dua.

"Gue rasa kantin ini nggak perlu patung selamat datang!"

Selin mengangkat kepalanya. Matanya langsung bertemu dengan sepasang mata hitam dengan sorot yang tajam. Cowok tinggi dengan rambut hitam lurus dengan poni yang hampir menutupi matanya itu baru saja menegur Selin yang berdiri di tengah pintu.

"Lo manusia atau robot?" tegur cowok itu lagi karena Selin tidak juga menyingkir. "Lo nggak ngerti bahasa manusia?"

"Eh?" Selin baru paham beberapa detik kemudian. Ia segera menepi agar tidak menghalangi langkah cowok itu yang hendak keluar dari kantin.

SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang