LIW | 9

69 12 2
                                    

Persis seperti apa yang telah Maura duga sebelumnya, Laura tidak akan melepaskannya begitu saja. Ia semakin gencar menghubunginya bahkan ia sampai repot-repot meluangkan waktunya untuk 'mampir' ke ruko Maura yang letaknya cukup jauh dari kediaman Williams seperti saat ini. Benar-benar pengangguran yang untungnya kaya raya.

Laura duduk di sofa yang letaknya berada di seberang Maura. Sambil mengunyah keripik kentang yang sengaja ia simpan di kantor, Laura mulai berceloteh. "Jadi, Devan-Devan itu beneran pacar lo? Ketemu di mana? Kok gak bilang-bilang? Padahal gue gak pernah alfa nanyain pasangan lo, ada atau enggaknya. Mau sok-sokan misterius gitu?"

Dengan sengaja, Maura membanting bundelan laporan yang sedang diperiksanya sambil menghela napas berat. Keningnya ia pijat pelan; mencoba menyingkirkan rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang. "Lo gak bisa nunggu sampe gue beres kerja, ya? Seriusan, La. Gue lagi pusing ngurusin data-data yang masuk dan elo malah memperburuk rasa pusing gue."

Laura tak menanggapi ucapan Maura dengan serius. Ia menggedikkan sebelah bahunya sambil terus mengunyah keripik kentang di tangan. "Lo bisa istirahat dulu bentar buat cerita ke gue, Ra. Feel free. Gue selalu ada buat dengerin curhatan lo."

Maura akui temannya yang satu ini memang agak gila dan butuh sedikit konseling, tapi Maura melupakan hal penting lainnya dari Laura. Temannya yang satu itu memang tidak tahu diri. Jadi, daripada ia ikut-ikutan gila, Maura memilih untuk meladeni keinginan Laura karena ia tahu Laura tidak akan berhenti mengoceh sebelum ia mendapatkan jawabannya. 

Maura memanggil salah satu tangan kanannya lewat interkom nirkabel yang terletak di atas mejanya. Tak lama, anak buahnya itu datang ke ruangan Maura. Dengan cepat, ia menyerahkan bundelan yang sebelumnya ia periksa sambil memberi perintah untuk mengecek data-data yang ada dengan cermat dan kemudian mengusir bawahannya itu tanpa ragu-ragu. 

Setelahnya, Maura dengan cepat berpindah posisi mendekati Laura. Diambilnya keripik kentang miliknya yang berada dalam genggaman Laura dan mengunyahnya perlahan. Ia mencoba mengulur sedikit waktu untuk mencari alibi dengan mengunyah keripik itu perlahan-lahan. Laura yang paham siasat Maura segera merampas keripik kentang itu; memaksa Maura untuk membuka mulut secepatnya karena Laura sudah penasaran setengah mati. 

Maura berdesah pelan. Ia melemparkan badannya ke belakang hingga posisinya kini bersandar di sofa. Sesaat kemudian, ia pun buka suara. "Devan itu bawahan gue. Dia kerja di sini. Udah kenal sejak tahun pertama taruhan ini dimulai. Mm, dari satu setengah tahun yang lalu? Atau ... dua? Dia juga tau kalo gue lagi dalam masa taruhan. Jadi, dia udah beberapa kali minta gue untuk nikahin dia di mana itu cuma becandaan doang. I don't take it seriously karena--sumpah, deh!--dia gak beneran minta gue nikahin. Kedengeran kayak main-main, tau gak? However, yang kemarin itu cuma main-main aja. Oke? Don't take it seriously. Got it?"

Laura nampak berpikir untuk beberapa waktu; mencoba menganalisis jawaban dari Maura. Masuk akalkah jawabannya itu?

"Siapa yang tahu kalo dia gak serius? Listen, bukan elo yang nentuin dia serius atau enggak. Perasaan orang gak ada yang tau, 'kan? Lo harus tanya Devannya sendiri tentang perasaannya ke elo buat mastiin."

"Iya!" seru Maura di luar kendali. Ia terlihat mengatur napas sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Gue tau itu. Gue tau kalo gue gak berhak ngecap seseorang tulus atau enggak cuma dari perlakuannya doang, tapi seenggaknya dari situ gue bisa nilai dia dengan mata kepala gue sendiri dan Devan tuh beneran cuma main-main, La. Gak lebih! Jadi, kesimpulannya, gue masih jomblo. Masih cari-cari pasangan yang terbaik buat gue kayak yang Ferli dan Tintan lakuin. So, please, jangan ganggu gue lagi dan biarin gue cari pasangan gue dengan tenang tanpa ada gangguan dari elo. Oke?"

Lover In War | ✔Where stories live. Discover now