LIW | 36

55 6 7
                                    

Don't you see me? 
I think I'm falling, I'm falling for you
And don't you need me?

***

Dalam hidup, Devan meyakini satu hal penting yang terjadi pada diri setiap manusia. Di dunia ini ada beberapa hal yang tak dapat diubah walau seisi dunia pun tahu seberapa kerasnya manusia itu berusaha. Hal itulah yang Devan sebut sebagai takdir.

Dulu ia tak terlalu serius memikirkan takdir dalam hidupnya. Namun setelah beberapa kemalangan menimpanya akhir-akhir ini, ia mulai memikirkan segalanya. Memikirkan takdirnya sendiri yang sepertinya jauh dari kata menyenangkan.

Sudah takdirnya untuk terlahir di dalam sebuah keluarga yang terasa begitu menyesakkan, sudah takdirnya menghadapi kekacauan yang secara tidak langsung melibatkan dirinya, dan mungkin sudah takdirnya juga untuk hidup dengan kecacatan seumur hidupnya. 

Kini semua sikap angkuh dan kepercayaan dirinya yang selama ini selalu menjadi personanya telah lenyap, hilang tak berbekas. Yang tersisa hanyalah Devan yang pesimis, lemah dan cacat. Sisi positif dari Devan yang hampir tak pernah ada kini lenyap hingga membuat dirinya terlihat semakin menyedihkan.

Meski tak tahu banyak soal atasannya, namun Bram mengerti perasaan putus asa yang Devan alami. Rasa kesal dan amarahnya dengan nasibnya yang malang terpancar jelas dalam diri Devan. 

Bram menatap Komandannya yang terduduk lesu di atas kursi panjang yang ada di depan markas. Dengan langkah berat, ia berjalan mendekat dan ikut menemani Devan duduk di sampingnya. Suasana keduanya sempat hening sejenak. Bram mencoba memberi waktu pada Devan untuk menenangkan dirinya sejenak. Ia baru akan mengeluarkan suara jika sang komandan duluan yang memulai pembicaraan.

Satu menit ... lima menit...

Bram masih tak keberatan untuk menunggu Devan membuka suaranya. Namun saat ia melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya dan jarum jam telah menunjukkan waktu 15 menit yang telah terlewat, ia semakin khawatir.

"Komandan, jangan pendem semuanya sendirian. Saya disini. Kalo ada yang mau ditanyain, tanya aja. Saya terbuka untuk semua topik pembicaraan."

Tapi Devan masih tetap menghiraukannya. Bram menghela napas berat dan mengalah. Ia mulai membuka suara, memberikan informasi yang bisa jadi ingin didengar oleh Devan.

"Kolonel Jonathan dalam keadaan baik-baik aja. Tersangka tadi jelas hanya menggertak Komandan saja. Memang, ia sempat terkena jarum suntik berisi obat-obatan itu, tapi itu hanya tusukan saja. Kolonel Joe tidak terindikasi zat adiktif apapun."

Mendengarnya, Devan mengangkat kepalanya perlahan dan bergerak menatap Bram. "Kamu yakin?" Bram yang diberi tatapan intens dari atasannya dalam jarak sedekat itu pun tak kuasa dan hanya mampu menelan salivanya takut-takut sambil menganggukkan kepala sekali-dua kali. "Isi suntikan itu masih penuh, Komandan," lanjutnya setelah ia berdeham kecil, mencoba mencari suaranya yang dirasa hilang sepersekian detik.

Mendengarnya, Devan menghela napas lega. Ia mengarahkan wajahnya ke depan, menatap lapangan besar yang merupakan tempat ia apel sehari-hari berada. Diam-diam, Bram ikut bernapas lega. Itu tadi cukup membuat jantungnya berhenti berdetak. Dan tanpa sempat dicegah, Bram memilih jalan yang sulit. Tanpa ia sadari, dibukanya semua hal yang orang sebut sebagai 'rahasia perusahaan' pada Devan--sang mantan komandannya kelak.

"Seperti yang Komandan tau, Antonio masih ada relasi dengan 

Devan tak membalas. Lebih tepatnya, ia bingung bagaimana menanggapinya? Hingga akhirnya, Bram kembali berucap. "Saya akui, masih ada beberapa hal yang gak saya sampaikan ke Komandan. Maaf."

Devan menghela napas berat. "Saya mengerti. Bagaimana pun juga, saya bukan anggota aktif dari kepolisian lagi. Saya tidak berhak untuk tau semua perkembangan di markas."

Lover In War | ✔Where stories live. Discover now