LIW | 24

49 12 5
                                    

Di meja kerjanya, terlihat Maura yang sudah mulai sibuk memeriksa berlembar-lembar kertas berisi laporan dana pemasukan dan pengeluaran yang baru saja disetorkan kepala bagian keuangannya barusan. Dilihat dari ekspresinya, jelas Maura masih belum baik-baik saja sejak kemarin malam. Ia masih memusingkan banyak hal yang ia sendiri tahu pasti jawabannya. Namun setidaknya, masih ada hal baik yang terjadi. Devan yang entah mengapa bersikap layaknya gentleman. Ia tidak mencoba memperburuk situasi dan Maura terbantu dengan itu.

Namun, Maura tak menyadari tatapan Devan yang diam-diam terus tertuju padanya. Memang sudah biasanya seperti itu, namun intensitasnya kini naik dua kali lipat. Devan sendiri tak menyadari itu. Ia hanya merasa perlu memastikan keadaan Maura diam-diam. Devan perlu tahu apa yang tengah dihadapi Maura hingga ia dapat menata kembali rencananya.

Di tengah 'pengamatannya', ponsel Devan bergetar dari balik saku celananya. Ia merogoh kantung celana dan melihat nama Jay terpampang di layar. Dengan segera, ia menerima panggilan itu sambil berjalan mengendap-endap ke dalam toilet. Tak lupa, ia memastikan keadaan di toilet sebelum menguncinya.

"Lapor, Komandan! Ada pengiriman barang baru yang akan dilakukan malam ini di koordinat 6.101511°S 106.886031°E. Target 1 dan 2 juga terlihat keluar dari kawasan sejak dua jam yang lalu"

Devan mengernyitkan dahi, taktahu dimana letak dari koordinat yang disebutkan Jay barusan.

"Priok," lanjut Jay kemudian sesaat setelah menyadari kesalahannya.

"Pengiriman barang baru di malam ini? Kamu yakin?" tanya Devan memastikan kembali.

"Siap, yakin, Komandan. Saya dapat info itu dari target 2 langsung, Komandan."

Devan tak langsung menanggapi, ia nampak berpikir keras.

Target 1 yang dimaksud Jay adalah Joe, sedangkan target 2 adalah 'komplotan sesungguhnya' yang tengah mereka incar. Sebenarnya Devan ingin mempercayai kabar dari anak buahnya, namun ia sendiri tidak yakin. Maksudnya, Joe tidak mungkin membiarkan berita penting ini keluar dari sembarang orang. Lagipula, bukannya mereka terlihat setuju untuk menjadi mata dan telinga bagi masing-masing pihak?

Ada banyak kemungkinan yang tak ingin Devan sebutkan satu per satu. Kebanyakan kemungkinan buruk. Jadi, respon Devan hanya satu.

"Tolong pastikan kembali kebenaran info tersebut dan lapor saya setelah kamu benar-benar yakin."

"Baik, Komandan!"

Panggilan itu tertutup, Devan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan membuka kunci pintu toilet dan terdiam mematung saat melihat Maura berdiri tepat di hadapannya.

"Kenapa? Kok keliatan kaget gitu?" tanya Maura kemudian.

"Ya kaget, lah! Kamu ngapain berdiri di depan toilet cowok kayak gitu?"

Maura tak membalas. Ia hanya menunjuk pintu di belakang Devan. Dan seketika Devan tersadar bahwa ia salah memasuki kamar mandi.

"Aah, aku yang salah ternyata."

"Kenapa pintu toiletnya dikunci? Ini fasilitas kantor, bukan milik pribadi! Gimana kalo ada orang lain yang kebelet?" cecar Maura kemudian.

"Hah? Pintu toiletnya dikunci?" balas Devan pura-pura bodoh.

Maura menatapnya jenuh. "Gak usah sok kaget gitu! Aku liat sendiri kalo kamu sengaja kunci pintunya. Aku juga liat kamu yang jalan mengendap-endap, cek satu per satu bilik kamar mandi sebelum masuk. Tingkah kamu mencurigakan. Apa yang kamu sembunyiin dari aku?"

"Ngaco! Aku gak sembunyiin apa-apa, kok! Mana yang aku sembunyiin?" balas Devan tak mau mengalah sambil meraba-raba dirinya sendiri, berlagak seolah tak ada satu hal pun yang coba ia sembunyikan dari Maura.

Lover In War | ✔Where stories live. Discover now