LIW | 33

33 6 3
                                    

Kejadian dua hari sebelumnya menyebabkan kecanggungan yang tiada tara baik bagi Devan maupun Maura. Namun meski begitu, keduanya tetap menjaga hubungan agar tetap baik-baik saja.

Diluar dugaan, nyatanya ada sedikit perasaan lega pada diri Devan setelah kejadian itu. Devan sudah mulai memahami apa yang dirinya rasa. Namun, ia masih menyimpan ragu. Lagipula, Devan tak ingin cepat-cepat mengambil keputusan. Setidaknya, ia masih punya waktu yang cukup untuk berpikir ulang.

Hari ini, Devan menjalani terapi dengan cukup baik. Dokternya bilang, kemajuan Devan telah menanjak naik dibanding beberapa hari sebelumnya. Dan Devan merayakan itu dengan terus berlatih. Ia bahkan berjalan kembali ke kamar inapnya tanpa dibantu kursi roda. Tentunya dengan Maura yang siap sedia berjaga di sampingnya dan seorang bodyguard titipan Mama Devan yang menjaga dari jarak jauh.

"Kalau capek, bilang. Biar kita bisa istirahat dulu sebentar. Biarpun kemajuan kamu menanjak drastis, dokter gak menyarankan kamu untuk memaksakan diri kayak gini. Yang ada, nanti kamu malah semakin sakit," ucap Maura memberi nasihat pada Devan yang kini berjalan lebih lambat dari sebelumnya.

Devan ingin sekali menghiraukan ucapan Maura, namun kakinya terasa sakit dan ia juga tak yakin dirinya masih mampu untuk kembali berjalan. Dan Maura menyadari ketidakberdayaan Devan itu. Jadi dengan berberat hati, Devan menyetujui ucapan Maura dan memilih duduk sebentar di atas kursi rumah sakit. Diikuti oleh Maura yang mendudukkan diri di samping Devan.

"Gimana bisnis baru kamu? Lancar?" tanya Devan membuka percakapan.

Maura membenarkan kursi roda Devan yang ia bawa sambil menganggukkan kepalanya pelan. "So far so good. Aku banyak dibantu Laura dalam prosesnya."

"Sorry," ucap Devan mengagetkan Maura.

"Sorry? Buat apa minta maaf?"

"Karena menghalangi usaha kamu? Baik dulu dan sekarang."

Maura menggelengkan kepalanya tanda tak setuju.

"No, you did nothing wrong. Jangan merasa bersalah!"

Kedua mata Devan lantas menatap Maura dengan sungguh-sungguh. "Aku yakin kamu akan jadi wanita karir yang sukses nantinya. Kamu akan punya masa depan yang bagus dengan kemampuan yang kamu miliki."

"Wah, too early to call it that. Tapi, makasih. Kamu juga," balas Maura merespon pujian dari Devan. Namun dalam hati, ia merasa bangga juga karena kerja kerasnya terlihat oleh orang lain.

"Aku juga? Bagian mananya? Kayaknya habis ini aku akan jadi pengangguran. Kamu tau sendiri kalau aku dipurnatugaskan."

Seketika Maura terdiam. Ia merasa telah salah berbicara. Suasana pun hening.

Keduanya terdiam cukup lama. Devan sibuk meredakan rasa sakit di kedua kakinya sedangkan Maura sibuk memainkan jari jemari yang ia letakkan di atas paha dengan canggung.

Devan yang menyadari sepenuhnya keheningan yang terjadi diakibatkan oleh ucapan pahitnya itu memilih untuk mencari topik pembuka yang lain. Namun ia tak terpikirkan satu pun ide pembicaraan hingga akhirnya Devan memilih untuk menceritakan tentang dirinya sendiri.

"Sama kayak kamu yang banting stir jadi business woman, aku juga banting stir jadi anggota polisi."

Fokus Maura yang tadinya berada pada jari-jarinya langsung berpindah pada wajah Devan. Manik matanya mengisyaratkan sebuah pertanyaan, "Kenapa?"

"Gak ada alasan yang spesifik. Dibilang cita-cita juga bukan. Aku cuma pengen aja masuk akademi polisi. Gak expect bakal berkarir sebagai polisi sampai sejauh ini, tapi itulah yang terjadi.

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang