23

21 3 1
                                    

Aku menutup tubuhku dengan selimut untuk meredam emosiku yang tengah berkecamuk didalam kepalaku. Banyak pikiran buruk yang kini aku pikirkan tentang Vinnie saat ini.

Kenapa dia melakukan ini? apakah aku masih kurang untuknya? apa kekuranganku? kenapa dia tidak mengatakan pernikahan kami dengan temannya? bahkan Cole, dia adalah teman dekatnya. Kenapa dia memendam ini dalam-dalam?. Apakah aku membuat kesalahan?.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan kasar menampilkan Vinnie yang berjalan tergesa-gesa membawa serta amarahnya memasuki kamarku. Aku segera berdiri dan menatapnya dengan mata yang sedari tadi sudah puas mengeluarkan air mata, rasanya sudah tidak ada air mata lagi yang tersisa saat ini.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?!" bentaknya persis dihadapanku.

Kepalaku mendongak dengan berani menatap matanya tanpa ada rasa takut sedikitpun. "Kau pikir apa yang kau lakukan?" tanyaku balik mengulangi pertanyaannya.

Dadanya naik turun, nafasnya tidak teratur, matanya memerah karena amarah yang sudah menguasainya. "Kau melewati batasmu, Riana" tegasnya.

"Batas apa? karena aku memberitahu temanmu tentang rahasia kecil kita?" tanyaku balik dan menyipitkan mataku.

"Kau seharusnya tidak melakukan itu. Itu semua keputusanku, bukan keputusanmu. Kau tinggal dirumahku! kau harus mengikuti aturanku!!" bentaknya semakin meninggi membuatku sedikit tersentak.

Aku memejamkan mataku memberi diriku sendiri kekuatan. "What rules? kau bahkan tidak mengatakan kalau aku harus diam dan merahasiakannya. I did not break any rules" tekanku.

"Sekarang kau menyalahkanku?! pintar sekali, Riana. Kau benar-benar pintar membalikkan keadaan--"

"Lalu semua ini salahku?" tanyaku.

"YA!!!! INI SALAHMU!!!" bentaknya dengan sangat keras sampai aku bisa melihat urat lehernya mengencang dan wajahnya merah padam.

"Kenapa kau melakukan ini, Vinnie?" tanyaku dengan pelan mencoba untuk tidak membentaknya balik. Kalian tidak akan pernah tau bagaimana rasanya memendan amarah yang susah memuncak disituasi seperti ini, ini sangat sulit.

Tanganya mengacak rambutnya kasar dan menggeram kasar. Memutar badannya agar tidak mematapku untuk sesaat lalu kembali menatapku lagi. "Aku belum siap. Aku belum siap untuk menikah. Denganmu. Aku dulu menolakmu mentah-mentah dihadapan teman-temanku saat kau mengatakan kalau kau hamil. Cole membelamu dan memintaku untuk bicara denganmu mengenai bayi itu. Dia juga yang memohon kepadaku untuk mengasihimu dan bayi itu"

"Dan sekarang aku menikahimu setelah aku menolakmu dan mencaci makimu. Aku malu untuk memberi tau Cole karena aku memiliki gengsi yang tinggi. Aku terlalu bangga dengan diriku sendiri!! Aku belum siap untuk semua ini!! Semua ini terlalu tiba-tiba untukku" jelasnya panjang lebar dengan penuh amarah.

Jantungku seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat. Vinnie mendekatiku dan menatapku seakan dia menyesal telah mengatakan semua itu kepadaku. Dia lepas kendali saat mengatakan itu semua. Dan sekarang aku tau semuanya. Semuanya.

Hatiku terasa perih, kepalaku terus menerus berpikir tentang banyak hal, sedangkan hatiku berkata untuk meredam amarahku dan menjaga emosiku untuk bayiku. Bodohnya aku, aku lebih memilih mendengarkan isi kepalaku.

"Kau belum siap?! kapan kau akan siap?! kau belum siap menikah, belum siap memiliki anak, belum siap menjadi seorang ayah, belum siap apa lagi?!!" tanyaku dengan nada tinggi.

"Apa kau pernah berfikir tiba-tiba saja ada bayi diperutmu yang sangat ingin kau bunuh karena kau belum siap?! aku bertahan demi anakku! Aku tau ini susah tapi kau bertingkah seakan-akan kaulah yang paling tersakiti diantara kita berdua. Kau bertingkah seakan kau adalah korban disini!!" tambahku.

Sour LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang