7. Tuntutan Keluarga

5.8K 1.1K 48
                                    

"Kapan kamu punya waktu nyari jodoh, kalau mulai pergi-pergi begini lagi?"

Mama Hayati, Ibu masa kini yang minim keriput, mulai menggencarkan lagi hak prerogatifnya sebagai orang tua. Bercita-cita hidup tenang di masa tua. Tidak lagi memikirkan nasib anak perempuan satu ini yang tak kunjung menemukan jodoh.

"Sebentar lagi adikmu nikah."

"Nggak papa, Ma. Cantika nggak masalah Rara nikah duluan. Dari dulu malah. Cantika ikhlas."

"Tapi Mama kepikiran."

"Nggak usah dipikir, Ma. Anak-anak Gamma deh suruh main ke sini. Biar Mama ada kesibukan. Berantakan banget mereka kalau main, astaga! Ngurusin mainan mereka, bikinin kue, nemenin renang, nidurin siang bareng-bareng. Udah deh. Mama sama Bibi nggak akan punya waktu nganggur mikirin Cantika."

Bibir merah muda yang menurun pada anak pertamanya itu, mengerucut ke depan. Mendesah pasrah. Urat sabar Nyonya Sudjatmiko telah terlatih sejak Cantika lulus sarjana. Niat ijab sah usai menerima ijazah terlampau mundur 20 tahun lamanya. Beruntung, Mama Hayati dan Papa Miko masih diberi umur panjang. Limpahan kesehatan di usia lebih dari setengah abad. Sakit darah tinggi, diabetes, dan stroke yang biasa menyerang mayoritas orang tua kebanyakan pikiran, jauh-jauh dari raga.

Mama Hayati mengikuti di belakang Cantika yang mulai menggeret koper dari kamarnya. Dari sayap kiri rumah menuju ruang tengah, letak meja makan berada. Jaket hangat warna peach untuknya, masih menyampir di lengan sang Mama. 

"Kamu kapan pulangnya?"

"Bentar aja kok. Semingguan kalau nggak ada reportase dadakan."

Cantika menjawab sembari memasukkan perbekalan yang telah asisten rumah tangganya siapkan di atas meja.

Air mineral, kue kering teman mengemil di perjalanan, 5 karung snack yang akan ia hantarkan ke panti asuhan binaannya, termasuk 4 kotak nasi lengkap dengan lauk ayam panggang balado, yang Cantika masak khusus untuk makan bersama tiga rekannya lainnya dalam perjalanan. 

Segala kelebihan untuk menjadi seorang istri dan ibu siaga, telah Cantika kantongi secara sempurna. Pintar memasak, rajin beberes, sayang anak-anak, dan baik hati. Hanya, calon suaminya saja yang belum nampak hilalnya. 

Dua dari empat kriteria wanita yang dirindu surga hampir terpenuhi. Sayang anak dan taat pada orang tua. Tinggal ketaqwaan pada Allah dan ketaatan pada suami yang masih harus diuji. Taqwa pada sang Pencipta bisa dimulai dari sekarang. Tapi taat pada suami? Bagaimana bisa taat jika ia belum menemukan juga tambatan yang tepat?

Suara klakson menginterupsi prosesi pamitan Cantika pada sang Mama. Di teras beratap tinggi dengan lampu gantung klasik warna hitam.

"Jessi udah datang." Cantika mencium tangan, pipi kanan kiri dan berpelukan bersama Mama kesayangan. Angin sepoi yang jarang mampir ke kompleks elite kawasan Bumi Serpong Damai, menyapa pagi menjelang siang ini. Mengiringi keberangkatan si Cantik dan tim yang akan menghabiskan sekitar 12 jam perjalanan. "Titip salam buat Papa. Nanti kalau Cantika udah sampai, Cantika telepon."

"Kamu hati-hati." Ada gurat sedih di sepasang alis sempurna Mama Hayati yang melengkung ke bawah. Beruntung, beliau masih mampu menahan bulir yang ingin menetes. "Mama sama Papa sendirian lagi."

"Cantika langsung pulang begitu selesai. Ada Cantika, Gamma, Rara, menantu, calon menantu, cucu-cucu. Nggak akan sendirian kok."

Senyum bak Puteri Indonesia terukir dari bibir Cantika untuk Mama. Sebelum menjadi pembaca berita tetap di ATV, ia sempat merasakan petualangan sebagai reporter lapangan. 3 dari 10 mantan pacar, juga berprofesi di dunia yang sama. Kini, rasanya berat meninggalkan Mama setelah lama pensiun. Si Ratu Tipu-tipu sekali lagi harus menunjukkan ekspresi ceria dibalik tampilan kasual tunik merah tua berpadu padan celana kulot hitamnya.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik Sajaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن