30

5.7K 1.1K 53
                                    

DANANG

.

.

.

TIDAK ada bulan terberat selain di bulan Desember sekaligus penghujung tahun ini bagi Jeno. Ia kehilangan tiga orang terkasihnya di tahun ini. Mak Salamah, ayahnya, lalu ibunya. Jeno tak pernah menduga semuanya akan terjadi secepat ini. Hal ini semakin menyadarkan Jeno bahwa pada akhirnya semua orang akan pergi dan hanya dirinya sendiri yang akan tinggal.

—sampai dirinya yang akan ikut menyusul tiga orang terkasihnya di suatu hari, saat waktunya tiba.

Jeno menahan napas beratnya susah payah, berusaha agar dirinya tetap terlihat kuat. Ia menatap dua gundukan tanah merah di depannya dengan senyum tipis. Dalam duka yang dirasakannya, Jeno cukup bahagia jika ayah dan ibunya bisa bersanding kembali dalam tanah yang sama, juga dalam waktu yang tak jauh beda.

Atas kesepakatan dari beberapa pihak, Jeno menguburkan jenazah ibunya di samping ayahnya. Jeno juga pergi ke penjara menemui Harry untuk memberi kabar duka sebelum pemakaman ibu mereka. Ia meminta persetujuan pria itu, dan tanpa diduga Harry menangis dan bersujud di kaki Jeno kala diberi kabar duka itu. Namun Rio Nasution sampai saat ini tak bisa dihubungi sehingga mungkin sampai detik ini, pria itu tak tahu jika istrinya telah tiada.

Jeno menaburkan bunga dan air ke atas gundukan tanah makam ibu dan ayahnya, kemudian ia berdoa beberapa saat. Hanya doa dan sedekah yang diatasnamakan yang bisa Jeno berikan. Ia berdoa semoga Tuhan mengampuni semua dosa-dosa kedua orang tuanya dan memberikan tempat terbaik di sana.

"Ibu tenang ya jangan khawatir, Lintang aman. Banyak orang-orang yang sayang sama dia." Jeno mengusap nisan kayu milik ibunya. "Harry kemarin minta maaf karena gak bisa menemui Ibu buat terakhir kali. Maafin Harry ya, Bu."

"Bapak..." Jeno kini beralih mengusap nisan milik ayahnya.

"Danang bingung, Pak. Keluarga Juan terlalu baik. Tapi Danang masih gini-gini aja dan gak ngasih kepastian apa-apa lagi ke putra mereka. Gimana ya Pak, bingung soalnya gak ada yang bisa dituakan buat minta saran. Hehehe..." Suara kekehan keluar dari mulut Jeno. Hanya kekehan getir yang keluar, mencoba menghibur diri.

"Bapak gak usah khawatir Danang bakal sendirian, sekarang ada Lintang. Bapak pasti kaget kalo dulu ketemu Lintang, dia mirip banget Danang loh Pak. Dia anaknya Ibu dan suami barunya."

Setelah puas berbicara seorang diri di kuburan ayah dan ibunya, Jeno lantas berdiri. Ia kembali menjinjing keranjang dan botol kosong yang tadi dibawanya. Kakinya perlahan meninggalkan area pekuburan dan Jeno kemudian mengendarai mobilnya menuju sebuah tempat —rumah Pak Herman.

Selama tiga hari semenjak kematian ibunya, Jeno menitipkan Lintang pada keluarga Pak Herman. Sedangkan ia selama itu mengurus banyak hal dari mulai acara penguburan dan surat kematian, pengurusan dokumen untuk ahli waris yang semuanya Jeno tuliskan atas nama Lintang, dan juga hal lain yang harus Jeno urus sehingga tak memungkinkan untuk dirinya mengurus Lintang.

Karena sudah merasa tak enak hati, Jeno hari ini berniat menjemput Lintang untuk pulang bersamanya. Ia sudah sangat banyak berhutang budi pada keluarga Pak Herman. Meskipun dirinya memiliki hubungan yang dekat dengan Juan, namun Jeno sadar tak seharusnya ia terlalu menggantungkan diri pada keluarga Juan.

Jeno sadar dirinya bukan siapa-siapa selain hanya sebatas kekasih dari putra Pak Herman.

.

.

Lintang mengemasi semua pakaian dan barang-barang lain miliknya ke dalam sebuah tas besar. Ia kemudian membereskan kamar yang selama ini ditinggalinya dengan teliti. Selama tiga hari itu, Lintang tidur di kamar bekas Jefran yang memang sudah tak lagi ditinggali semenjak menikah.

DANANG | NOMINWhere stories live. Discover now