6

10.2K 1.9K 495
                                    


DANANG

.

.

.

PAK ARMAN memandang sendu puteranya. Ia baru saja mengganti perban yang melilit di luka Jeno. Hari masih pagi, baru pukul enam lebih lima belas menit. Pak Arman juga baru sampai di rumah subuh tadi dan mendapati puteranya yang tertidur dengan tubuh menggigil dan luka di lengan kirinya.

Sejenak Pak Arman merasa marah kala mendapati Jeno tak mengabarinya perihal kecelakaan. Namun saat Jeno mengatakan maksudnya, Pak Arman lantas merasa dadanya sesak.

"Kalo ada apa-apa kamu hubungi Bapak biar ada yang ngurus," ucap Pak Arman sambil memasukkan perban dan beberapa peralatan lain yang digunakan untuk mengganti perban di luka Jeno ke dalam kotak P3K.

"Gak usah menghiraukan Bapak sibuk atau enggak. Kalo anak Bapak celaka itu udah jadi kewajiban Bapak buat meninggalkan pekerjaan sesibuk apapun," lanjut Pak Arman.

"Maaf, Pak. Tapi Danang cuma kasihan sama Bapak yang harus pulang-pergi nantinya."

"Ya gapapa. Itu kan kewajiban Bapak." Pak Arman mengelus puncak kepala Jeno. "Kamu itu anak satu-satunya Bapak, satu-satunya alasan Bapak kerja banting tulang biar kamu bisa hidup dengan layak. Bapak capek itu wajar. Tapi bakal jadi kurang ajar kalo Bapak cuma memperhatikan pekerjaan dan gak tahu apa aja yang dialami anak Bapak."

"Ini gak sakit kok, Pak. Cuma luka gini doang." Jeno tersenyum lebar di wajah pucatnya.

"Bohong! Kamu selalu bilang gitu dari dulu. Itu sakit, buktinya kamu sampe meriang kan semaleman?"

Tidak ada jawaban dari Jeno. Ia hanya menunduk mengamati lantai.

"Sarapan dulu. Habis itu minum obatnya."

.

.

Jeno sesekali memperhatikan ayahnya yang sedang menyemprot tanaman hias di teras rumah. Hari ini adalah hari libur juga ia sedang sakit tak bisa pergi secara sembarang membuat Jeno duduk agak terkantuk-kantuk di kursi teras, padahal hari masih pagi. Ditambah suara lantunan degung Sunda yang diputar ayahnya lewat radio membuat Jeno melayang. Ia jadi berkhayal sedang duduk di pelaminan.

(Degung Sunda - Colenak)

"Bapak selalu bermimpi kalo degung ini bakal diputer pas kamu nikah nanti," ucap Pak Arman tiba-tiba membuat Jeno langsung tersadar dari kantuknya.

"Hm? Gimana Pak?" tanya Jeno takut salah dengar.

"Bapak pengen lihat kamu duduk di pelaminan sambil lagu ini diputer."

Jeno tersenyum tipis, "Bapak mau punya mantu?"

"Mau. Bapak pengen kamu ada yang jagain, ada yang ngurus gak melulu kesepian. Umur kamu udah mateng, tiga puluh tahun. Udah waktunya berumah tangga. Jadi kalo misal Bapak udah gak ada kamu masih punya seseorang yang menemani."

DANANG | NOMINWhere stories live. Discover now