26

5.5K 1K 195
                                    

DANANG

.

.

.

BU MAYA menatap Juan dengan alis menukik. Putra keduanya itu terlihat rewel dari kemarin sore, tak seperti biasanya. Bahkan pagi ini tampak lebih parah. Sarapan paginya hanya dimakan beberapa suap, selebihnya dibiarkan begitu saja.

"Makannya yang bener, Kak. Kamu harus minum obat, harus ada yang masuk ke perut."

"Gak mau makan, eneg." Juan meminum satu gelas air hingga tandas. "Nanti aja agak siang nyoba makan lagi. Sekarang mau tidur aja, Ma."

Juan meninggalkan meja makan yang hanya ada dirinya dengan sang ibu. Ayahnya sudah pergi ke kantor dan adiknya sudah berangkat ke sekolah barusan. Bu Maya membereskan makanan yang disisakan Juan sambil berteriak, "kalo gak enak badan nanti sore kita ke dokter. Mama telepon abangmu buat anter."

"Gak usah, Ma. Besok juga sembuh," jawab Juan asal. Ia berjalan menuju kamarnya dengan gontai. Wajahnya terlihat pucat dan matanya sayu. Tak menunggu apapun lagi, Juan langsung merebahkan dirinya di atas ranjang dan masuk ke dalam selimut. Selanjutnya ia memejamkan mata berharap rasa tak nyaman di tubuhnya bisa sembuh saat ia bangun.

Baru sekitar setengah jam tidur, Juan merasakan perutnya bergejolak tak nyaman. Lalu setelahnya disusul dengan sesuatu yang mendesak kerongkongannya ingin keluar. Dengan cepat, Juan bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar mandi sambil menutup mulutnya.

"Hoek... uhukk... uhukk..."

Sarapannya yang hanya sedikit tadi, keluar melalui muntahan. Juan terus terbatuk merasakan perut dan kerongkongannya sakit karena tak ada lagi yang keluar dari perutnya. Ia menekan tombol di closet-nya setelah memastikan jika dirinya tak akan muntah lagi.

Dengan hati-hati Juan bangkit dari posisinya yang semula berlutut di depan closet. Ia kemudian berkumur dan membasuh wajahnya di wastafel. Karena masih merasa mual, Juan menyikat giginya. Rasa manis dan segar dari pasta gigi membuat dirinya lebih baik.

Setelah mengeringkan wajahnya dengan handuk, Juan bercermin. Ia mengamati wajahnya yang pucat dan matanya yang tampak layu. Sejenak matanya memejam, mencoba mengingat-ingat apa yang terakhir dimakannya hingga bisa membuat muntah seperti ini.

Tiba-tiba Juan teringat dengan sesuatu hal yang sangat tidak ingin itu terjadi. Dadanya langsung bergemuruh dan berdetak tak karuan. Tangan dan kakinya pun ikut mendingin dengan keringat yang mulai muncul dari pori-pori kulitnya. Juan berjalan keluar dari kamar mandi menuju meja kerjanya di samping ranjang. Ia melihat kalender duduk di sana dan mulutnya mulai berkomat-kamit menghitung.

"Lima puluh delapan hari..." gumam Juan.

Setelahnya Juan terduduk di atas ranjang. Pikirannya tiba-tiba kalut. Banyak sekali kemungkinan terburuk yang berputar di pikirannya seolah mengolok. Tidak mungkin yang ada di pikirannya saat ini terjadi kan?

Juan dengan perasaan yang semakin kalut kembali merebahkan tubuhnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke leher. Kembali ia memejamkan mata dan terus merapalkan kata-kata penyemangat dan juga positif agar dirinya tenang.

Namun bukannya tenang, Juan malah semakin tak karuan. Kata-kata terakhir Jeno tempo hari malah berputar di kepalanya bak kaset rusak. Ia menggigit bibirnya dengan keras, tak peduli jika kelakuannya itu akan menimbulkan luka.

'Ayo menikah, sayang. Jadi pasangan hidup saya yang pertama dan terakhir. Tolong terima segala kekurangan saya dan mari saling melengkapi. Kita memang belum terlalu lama kenal, tapi hati saya gak mungkin salah buat memilih.'

DANANG | NOMINWhere stories live. Discover now