14

6.8K 1.3K 203
                                    

DANANG

.

.

.

JENO sedang menyemir sepatu di teras rumahnya. Tak jauh dari tempat Jeno duduk, Pak Arman tampak sedang menyiram tanaman-tanaman kesayangannya menggunakan selang yang diputus sambungannya.

"Mapay jalan satapak, ngajugjug ka hiji lembur~"

Suara Jeno terdengar sumbang saat meniru lagu Sunda yang diputar dari radio kesayangan ayahnya yang mengalun merdu. Waktu masih menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, namun Jeno sudah siap dengan seragam damkarnya.

"Jadi udah dari kapan punya hubungan sama anaknya Pak Herman?" tanya Pak Arman. Ia menoleh sebentar untuk melihat putra satu-satunya itu yang tampak asik dengan dunianya.

"Belum lama, masih anget. Ibaratnya kayak tai ayam yang baru aja nemplok di teras rumah," jawab Jeno dengan perumpamaan absurdnya.

Pak Arman tersenyum. Pantas saja akhir-akhir ini putranya itu tampak lebih bersemangat dari biasanya. Ternyata memang sedang dilanda kasmaran.

"Bapak seneng dengernya kalo kamu udah gak sendiri lagi." Pak Arman menghentikan aliran air dari selang yang dipegangnya. "Bapak doakan yang terbaik. Semoga sama yang sekarang bukan cuma main-main aja."

"Aamiin Pak, semoga."

Jeno cukup tersentuh dengan ucapan ayahnya. Sebenarnya Jeno bukan tidak laku sampai di usianya yang ketiga puluh ini dirinya belum juga memiliki pasangan. Dulu Jeno memiliki cukup banyak mantan kekasih. Hanya saja semuanya berujung sebatas main-main. Tidak ada yang benar-benar ia anggap serius.

Namun seiring berjalannya waktu, Jeno mulai tak terlalu memikirkan pasangan. Ia hanya berfokus pada kariernya dan waktu bebas di masa muda dan tidak ingin lagi main-main dengan banyak orang. Sampai saat dipertemukan dengan Juan, Jeno tiba-tiba merasa kebutuhan dirinya untuk memiliki pasangan muncul kembali.

"Menurut Bapak, Juan itu gimana?" tanya Jeno. Ia berjalan ke ujung teras untuk bisa lebih dekat dengan ayahnya.

"Cakep, mana putih banget kayak artis. Beda seratus delapan puluh derajat sama kamu," ucap Pak Arman terlalu jujur. "Tapi kayaknya dia agak pemalu ya? Gak kayak kamu malu-maluin."

Jeno memajukan bibirnya mendengar ucapan sang ayah. Ia mengamati tangannya, cokelat tua dan belang kalau kata ayahnya. Jika berdiri berdampingan dengan Juan, sudah ibarat kopi susu karena Juan memang seputih itu. Ditambah wajahnya yang terlampau glowing, kadang membuat Jeno agak sungkan jika ingin melakukan skinship dengan Juan. Ia takut tangannya merusak estetika yang sudah diciptakan oleh Tuhan.

'Fix mulus' Kira-kira begitulah gambaran Jeno setiap kali mengagumi Juan.

"Bapak mau gak punya mantu kayak Juan?"

Pak Arman mengangkat kedua alisnya, "harusnya Bapak yang nanya gitu. Juan mau gak sama anak Bapak yang slengean? Yang kalo mandi suka lupa ngunci kamar mandi, anduk ditaruh di kasur, yang tiap pagi riweuh nyari kunci motor sama kaos kaki."

"Ya mau lah Pak, masa enggak!"

"Aamiin deh Bapak doain! Kamu apa gak mau berangkat biar gak telat ngabsen? Gaji dipotong karena telat nanti rewelnya sama Bapak!"

"Ya elah Pak galak pisan. Nih mau berangkat sekarang." Jeno duduk kemudian memakai sepatu PDL-nya. Setelahnya ia mengeluarkan Si Elang dari garasi dan menghidupkannya untuk memanaskan mesin.

"Pak!" Kembali Jeno berteriak. Ia membuat tanda love dengan kedua tangannya di depan dada. "Sarangeyo ti hate nu paling jero!" (Sarangeyo dari hati yang paling dalam)

DANANG | NOMINWhere stories live. Discover now